- Get link
- X
- Other Apps
Sarung merupakan kelengkapan berpakaian bagi sebagian
masyarakat Indonesia. Meski penggunaannya lebih dikedepankan kepada acara adat
maupun keagamaan. Berdasarkan beberapa referensi yang pernah saya baca
sebelumnya, tidaklah besar korelasi antara sarung dan agama. Karena masyarakat
Arab sendiri tidaklah mewajibkan orang yang beribadah menggunakan sarung.
Sarung sendiri merupakan produk awal yang berasal dari Yaman. Penggunaan di
Yaman sendiri untuk kelengkapan hidup sehari hari. Bagi masyarakat Indonesia
sendiri, sarung lebih sering digunakan dalam kegiatan adat budaya. Sarung di
Indonesia sendiri mempunyai beragam dan jenisnya. Sarung dari Bali tentunya
akan berbeda dengan sarung dari Lampung. Masyarakat Lampung kerap menggunakan
sarung bermotif tapis dengan model rajutan menyerupai gajah, kapal, siger.
Motif-motif tersebut mempunyai makna yang berbeda satu sama lain. Ketika saya pulang ke tanah kelahiran nenek moyang
di Samosir sana, penggunaan sarung juga digunakan dalam agenda adat. Ada
ketentuan yang membedakan penggunaan sarung di Tanah Batak ini berdasarkan gender. Sarung laki-laki tentunya akan
berbeda motif dengan sarung yang akan digunakan oleh perempuan. Bagaimana
dengan wilayah Indonesia lainnya? Saya perhatikan penggunaannya tidaklah jauh
berbeda. Keluarga yang akan melaksanakan kegiatan adat akan melengkapi
pakaiannya dengan sebuah sarung. Seperti masyarakat Aceh, Bugis, Minangkabau.
Tentunya kain sarung telah menjadi kehidupan berbudaya masyarakat Indonesia di
nusantara. Hanya saja penggunannya mulai luntur digerus jaman. Kebanyakan
masyarakat adat lokal saja yang masih mau menggunakan kain sarung dalam
kehidupan sehari-hari. Akan lebih terlihat kental ketika masyarakat muslim akan
beribadah shalat. Sebagian petani juga menggunakan sarun sebagai penutup kepala
agar tidak terkena panas matahari secara langsung. Bagi sebagian masyarakat
Tengger, sarung digunakan sebagai penghangat tubuh.
Sehingga dapat saya simpulkan mayoritas dari masyarakat Indonesia
mengenal sarung. Hanya saja tidak banyak yang menggunakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Jika sedang berada di kampung (Pringsewu, Lampung) tidaklah aneh
melihat pemuda yang wara wiri menggunakan sarung. Akan tetapi jika sudah berada
di kota kota besar seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Medan. Jarang sekali
saya ketemukan penggunaan sarung dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di Bumi
Serambi Mekkah tempat saya tinggal beberapa tahun terakhir ini. Kebanyakan
sarung digunakan hanya dalam acara adat, atau ketika akan shalat. Sehingga
ketika saya melihat seorang teman datang ke sebuah kedai kopi, bukan kedai
kopi, kita sebut saja coffee shop di sekitaran Penayong yang lebih modern,
menggunakan sarung. Beberapa pengunjung lainnya merasa heran, juga termasuk
saya. Sepertinya kawan saya ini salah kostum. Sempat mencibir dan terkesima
melihat motif sarung yang digunakannya. Jika motif kotak-kotak mungkin sudah
biasa. Kain sarung berwarna hitam itu bermotifkan ukiran Gayo. Sangat identik
dengan warna Gayo. Penempatannya yang tidak terlalu besar menjadi mencolok.
Sehingga wajar pandangan mata tertuju kesana.
Sarung yang kemudian saya ketahui produk dari Ija Kroeng ini
mengingatkan saya akan sarung dari Bali. Bali dengan berani mengangkat motif
motif khas nya menjadi motif sarung. Tidak jauh berbeda seperti masyarakat
Lampung yang berani mengangkat Tapis dalam motif sarung. Ija Kroeng berani
mengangkat motif motif budaya ke-Aceh-an yang sebenarnya sudah lebih terkenal
jika melekat pada souvenir lain. Seperti kaos, tas, rencong, yang merupakan
souvenir khas Aceh. Ija Kroeng sendiri merupakan bahasa Aceh yang berarti Kain
Sarung. Sepertinya memang produsen Ija Kroeng ingin mengangkat identitas Aceh
dalam barang produksinya. Seperti produsen kaos “Piyoh” yang juga mengangkat
identitas Aceh disana.
Di luar perdebatan politik Aceh yang sedang berkembang
sekarang ini, menjadi catatan saya bahwa Ija Kroeng sepertinya ingin kembali
mengikat bahwa Gayo juga merupakan identitas dari masyarakat Aceh. Propinsi
Aceh itu sendiri terdiri dari berbagai etnik suku seperti Aceh, Gayo, Alas, Kluet,
Jame, dan masih banyak lagi yang saya belum ketahui. Ija Kroeng ingin
menyelipkan warna budaya ke-Aceh-an dalam kehidupan sehari-hari melalui
penggunaan sarung sebagai medianya.
Kain sarung khas Aceh bisa jadi kawan perjalanan yang
berfungsi sebagai pelindung tubuh maupun perangkat alat ibadah. Bobot nya yang
ringan dan dapat dilipat kecil membuatnya sangat mudah dibawa kemana mana. Tentunya
kain sarung Aceh sendiri dapat melambangkan identitas si pengguna. Bisa jadi ke
depan bahwa oleh-oleh dari Aceh bukan hanya kopi, dendeng, tas ataupun Rencong
Aceh. Kain Sarung (Ija Kroeng) sangat layak jika dijadikan souvenir bagi
masyarakat yang mengunjungi Aceh. Ija Kroeng dapat dijadikan sebagai sarana
penguat budaya Aceh yang beraneka ragam. Ija Kroeng dapat menginspirasi pengusaha muda untuk mengangkat budaya lokal bergaya internasional.
Ada kebahagiaan tersendiri saat saya meninggalkan Aceh di tahun 2022. Sebuah tas souvenir berisikan sarung dari Ija Kroeng saya dapatkan. Kualitasnya sangat baik sekali. Hingga sekarang sarung ini sudah saya bawa melanglangbuana. Ke Lampung, Kuching, Pontianak, Samosir, Balikpapan, Malang, Lasem, Semarang, Solo. Ah masih banyak daerah lainnya termasuk Lubuk Linggau, Bengkulu. Terimakasih kepada teman teman yang telah menghadiahkan sarung Ija Kroeng ini, danke Buk Ti, Buk Vin.
Transformasi Sarung dalam Dunia Mode
Sarung, yang dulunya identik dengan pakaian tradisional, kini telah bertransformasi menjadi tren mode modern yang mendunia. Desainer internasional mulai memanfaatkan sarung tenun dalam koleksi mereka, memberikan sentuhan modern pada busana tradisional ini. Kain sarung kini tidak hanya dikenakan dalam acara adat atau keagamaan, tetapi juga tampil dalam berbagai peragaan busana internasional sebagai elemen fashion yang eksotis dan unik. Kreativitas para desainer dalam memadukan motif dan tekstur sarung dengan gaya kontemporer telah menarik minat pecinta mode di seluruh dunia.
Transformasi ini berdampak pada peningkatan permintaan sarung tenun, terutama di pasar Eropa dan Amerika Serikat. Meskipun data spesifik mengenai penjualan sarung di luar negeri terbatas, tren ini sejalan dengan meningkatnya ekspor produk fashion dari Indonesia ke berbagai negara. Selain itu, Uni Eropa tercatat sebagai importir pakaian tertinggi pada tahun 2021, dengan nilai impor mencapai 195 miliar USD, sementara Amerika Serikat berada di posisi kedua dengan 106 miliar USD. (sumber: GoodStats)
Meskipun angka tersebut mencakup berbagai jenis pakaian, peningkatan minat terhadap sarung sebagai bagian dari fashion modern turut berkontribusi pada pertumbuhan ekspor tekstil Indonesia.Makna Filosofis Sarung di Indonesia
Sarung bukan sekadar kain yang dikenakan untuk kenyamanan atau tradisi, tetapi juga mengandung nilai filosofi yang dalam, mencerminkan identitas dan status sosial pemakainya. Di berbagai daerah di Indonesia, sarung memiliki motif khas yang menggambarkan sejarah, adat istiadat, hingga status sosial masyarakatnya. Berikut beberapa motif sarung dari berbagai daerah di Indonesia:
1. Lipa’ Sabbe (Bugis – Sulawesi Selatan)
Dalam budaya Bugis, sarung lipa’ sabbe merupakan simbol kebangsawanan dan status sosial. Motifnya biasanya berupa garis-garis berwarna emas atau perak pada kain sutra yang mewah. Semakin rumit dan eksklusif motifnya, semakin tinggi status sosial pemakainya. Sarung ini sering dipakai dalam acara pernikahan atau upacara adat sebagai penanda kehormatan.
2. Sarung Batik (Jawa)
Berbeda dengan sarung tenun dari daerah lain, sarung batik dari Jawa memiliki motif yang kaya akan filosofi kehidupan. Motif parang, misalnya, melambangkan keteguhan dan keberanian, sementara motif kawung melambangkan keadilan dan kebijaksanaan. Sarung batik sering digunakan dalam acara keagamaan dan budaya sebagai simbol kesederhanaan dan kebijaksanaan.
3. Sarung Tenun Ikat (Nusa Tenggara Timur)
Sarung tenun ikat khas NTT memiliki pola yang dibuat dengan teknik pewarnaan alami dan proses tenun manual yang rumit. Motifnya biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari, flora, fauna, serta kepercayaan animisme yang masih dianut sebagian masyarakat setempat. Sarung ini menjadi identitas budaya yang kuat bagi masyarakat NTT dan sering digunakan dalam tarian atau upacara adat.
4. Sarung Samarinda (Kalimantan Timur)
Dikenal dengan motif geometris dan warna-warna cerah, sarung Samarinda merupakan hasil tenun tangan yang khas dari Kalimantan Timur. Berbeda dengan sarung Bugis yang terbuat dari sutra, sarung Samarinda biasanya dibuat dari benang katun yang lebih nyaman untuk dipakai sehari-hari. Sarung ini sering dipakai oleh masyarakat pesisir dan memiliki makna kesederhanaan serta kerja keras.
5. Sarung Palembang (Sumatera Selatan)
Sarung khas Palembang, seperti songket Palembang, memiliki corak emas yang menunjukkan kemewahan dan kemegahan budaya Melayu. Motifnya biasanya menggambarkan keindahan alam dan kehidupan kerajaan di masa lalu. Sarung songket sering digunakan dalam acara pernikahan dan upacara adat, menjadi simbol kejayaan dan kemakmuran.
6. Sarung Tapis (Lampung)
Sarung Tapis dari Lampung dibuat dengan teknik sulam emas yang rumit, sering kali menggambarkan motif alam, kapal, atau hewan yang memiliki makna spiritual. Sarung ini biasanya dikenakan oleh wanita dalam upacara adat dan pernikahan sebagai simbol kesucian dan kemuliaan.
Dengan keberagaman motif dan filosofi yang melekat, sarung bukan hanya sekadar kain pelengkap busana, tetapi juga menjadi identitas budaya yang kaya akan nilai sejarah dan sosial. Dari motif sederhana hingga yang penuh kemewahan, sarung tetap menjadi warisan budaya yang terus hidup dalam masyarakat Indonesia.
Ija Kroeng: Warisan Budaya Aceh yang Sarat Makna
Ija Kroeng Khas Aceh dengan Motif Tradisional
Ija Kroeng adalah kain sarung khas Aceh yang memiliki motif tradisional yang unik dan kaya akan filosofi. Berbeda dengan sarung pada umumnya, Ija Kroeng sering kali dibuat dari bahan katun atau sutra dengan teknik tenun yang diwariskan secara turun-temurun. Motifnya biasanya mencerminkan kehidupan masyarakat Aceh, seperti unsur alam, flora, dan simbol-simbol adat yang memiliki makna mendalam. Warna-warna yang digunakan juga beragam, mulai dari merah, hijau, hingga emas, yang mencerminkan kemewahan dan kebanggaan masyarakat Aceh terhadap budaya mereka.
Makna dan Filosofi Ija Kroeng dalam Budaya Aceh
Ija Kroeng bukan sekadar kain sarung, tetapi juga memiliki makna filosofis dalam budaya Aceh. Sarung ini melambangkan kesederhanaan, kesopanan, dan identitas masyarakat Aceh. Dalam beberapa kesempatan, penggunaan Ija Kroeng juga menandakan status sosial seseorang, terutama jika terbuat dari bahan berkualitas tinggi seperti sutra. Selain itu, Ija Kroeng sering digunakan dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, menegaskan nilai-nilai Islam yang kuat dalam budaya Aceh.
Perbedaan Ija Kroeng dengan Sarung dari Daerah Lain
Salah satu perbedaan utama Ija Kroeng dengan sarung dari daerah lain adalah motif dan cara pembuatannya. Jika sarung Jawa lebih dikenal dengan teknik batiknya, maka Ija Kroeng dibuat dengan teknik tenun khas Aceh yang lebih rumit dan memerlukan keterampilan tinggi. Selain itu, dari segi penggunaan, Ija Kroeng memiliki fungsi yang lebih luas, mulai dari pakaian sehari-hari, pakaian adat, hingga simbol kehormatan dalam masyarakat Aceh.
Harga Ija Kroeng Asli dan Cara Membelinya
Harga Ija Kroeng bervariasi tergantung pada bahan dan tingkat kerumitan motifnya. Ija Kroeng berbahan katun biasanya dibanderol mulai dari Rp150.000 hingga Rp500.000, sedangkan yang terbuat dari sutra bisa mencapai jutaan rupiah. Untuk membeli Ija Kroeng asli, masyarakat bisa mendapatkannya langsung di pasar tradisional Aceh atau melalui pengrajin lokal. Saat ini, banyak juga toko online yang menjual Ija Kroeng dengan berbagai pilihan motif dan kualitas.
Sejarah Ija Kroeng sebagai Kain Adat Aceh
Sejarah Ija Kroeng sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan digunakan oleh berbagai kalangan di Aceh, baik rakyat biasa maupun bangsawan. Pada masa Kesultanan Aceh, kain ini sering dipakai oleh para raja dan pejabat kerajaan sebagai simbol kebangsawanan. Ija dalam bahasa Aceh berarti sarung. Masyarakat Aceh sudah sejak lama menggunakan sarung sebagai bagian dari pakaian sehari hari. Hingga akhirnya, pengrajin dan budayawan Aceh mengangkat Ija Kroeng sebagai penerus dari warisan sejarah Aceh. Brand Ija Kroeng menjadi salah satu souvenir khas dari Bumi Serambi Mekkah. Seiring waktu, penggunaan Ija Kroeng meluas ke berbagai lapisan masyarakat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Aceh. Hingga kini, kain ini masih lestari dan terus diwariskan kepada generasi muda sebagai salah satu kebanggaan budaya Aceh.
Dengan segala nilai historis dan filosofisnya, Ija Kroeng tidak hanya sekadar kain, tetapi juga simbol dari kebanggaan dan identitas masyarakat Aceh yang kaya akan tradisi dan budaya.
seru juga ngeliat foto2 sarungnya bang :)
ReplyDeleteTerimakasih Paman, foto nya biasa hehe, sarungnya sebenarnya yang luar biasa :)
Delete