- Get link
- X
- Other Apps
Memikirkan dirimu dan tiada pernah berhenti.
Kala malam ku tiba sendiri aku di sini
Merindukan dirimu yang telah lama ku nanti.
Aku jadi bingung harus bagaimana
Sedang ruang dan waktu memisahkan kita.
Namun tetap dirimu yang terbayang.
Begitu indahnya dirimu di mataku.
Begitu tegarnya bayangmu di hidupku,
Sehingga membuatku tak kuasa untuk melupakan-Mu.
Hanya kau yang ada di hatiku.
Begitu indahnya dirimu di mataku.
Sehingga membuatku tak kuasa untuk melupakan-Mu.
Hanya Kau yang ada di hatiku.
Begitu indahnya dirimu di mataku.
Begitu tegarnya bayangmu di hidupku,
Sehingga membuatku tak kuasa untuk melupakan dirimu.
Hanya Kau yang ada di jiwaku.
Hanya Kau yang ada di pikiranku.
Hanya Kau yang ada di hatiku.
Diriku tak kuasa untuk melupakan,
Hanya kau yang ada di hatiku,
Di hatiku.
Demikianlah lirik lagu Bulan karya SPR. Sebuah band punk dari Kota Medan. Dalam heningnya malam yang pekat, seorang diri. Hanya detak jam dinding dan desau angin yang menemani. Di ruang sunyi itu, pikiran melayang pada satu nama, satu wajah, yang tak pernah benar-benar pergi. Lirik "Bulan" tidak lahir dari ruang hampa yang justru dipenuhi oleh kerinduan semacam ini. Namun, sebagai penulis, saya ingin mengajak kalian melihatnya melalui lensa yang lebih personal dan konkret: tulisan ini adalah upaya saya untuk menggambarkan esensi dari lagu "Bulan" karya SPR, sebuah band punk, dalam bentuk narasi tulis, yang kemudian menemukan bentuk barunya melalui cover yang dibawakan oleh Helanuansa dengan warna alternatif mereka.
Bayangkan seorang lelaki duduk di tepi tempat tidur, menatap keluar jendela. Matanya tak benar-benar melihat bintang-bintang yang bertebaran. Yang ia lihat adalah bayangan seseorang yang telah lama ditunggu, namun tak kunjung tiba. "Kala malam ku tiba sendiri aku di sini" - kalimat pembuka yang sederhana, tapi menyimpan gumpalan rasa yang berat. Tentunya awal kalimat ini adalah teriakan hati yang sama yang melatari lagu "Bulan" SPR. Dalam versi aslinya, energi punk itu terasa: cepat, berisik, penuh amarah yang meledak-ledak terhadap kesepian. Kerinduan itu bukan lagi sesuatu yang pasif, melainkan sebuah protes. Kalimat "Kucandai bulan, kubohongi sepi" dalam versi SPR mungkin diteriakkan dengan guitar distorsi yang kasar dan drum yang menggila, seolah ingin menghancurkan rasa sepi itu dengan kekuatan sound.
Baca Juga: Lagu Yang Cocok Untuk Merayakan Oktober
Namun, ketika Helanuansa mengambil alih, suasana berubah total. Genre alternatif mereka membongkar lagu itu sampai ke sumsumnya. "Bulan" yang keras dan penuh amarah itu ditelanjangi, diambil inti kesedihannya, dan dibungkus dengan soundscape yang melankolis, atmospheric, dan penuh ruang. Kalimat yang sama, "Kucandai bulan, kubohongi sepi," dibawakan dengan vokal yang lebih berembun, gitar yang digelayut, dan synthesizer yang menciptakan rasa hampa yang justru lebih dalam. Di tangan Helanuansa, kebingungan dan kepasrahan itu menemukan bentuknya yang paling sunyi dan menusuk.
Di sini, lirik ini mulai menunjukkan kedalamannya yang multi-talenta. Bisa jadi ini tentang cinta pada manusia - pada kekasih yang terpisah jarak dan waktu. Tapi dengarkan baik-baik: "Begitu tegarnya bayang-Mu di hidupku." Penggunaan huruf kapital pada "-Mu" itu seperti isyarat. Dalam tradisi tulisan kita, itu sering merujuk pada Yang Maha Kuasa. Inilah yang membuat lagu "Bulan" SPR menjadi menarik. Sebuah band punk, yang sering diasosiasikan dengan pemberontakan terhadap struktur, justru menyelipkan kerinduan transendental dalam liriknya. Tiba-tiba, lagu cinta atau protes ini berubah menjadi puji-pujian. Menjadi dzikir yang tersamar dalam balada rindu yang energik. Helanuansa, dengan pendekatan alternatif mereka, justru mungkin lebih memilih untuk menonjolkan nuansa "doa" ini, membuatnya lebih kontemplatif dan spiritual.
Kerinduan manusiawi dan kerinduan spiritual ternyata punya bahasa yang sama. Sama-sama merasakan kehadiran yang tak kasat mata. Sama-sama merasakan ketegaran bayangan dalam hidup. Sama-sama tak kuasa untuk melupakan. Dan sama-sama hanya ada satu yang memenuhi hati. Baik melalui teriakan punk SPR maupun renungan alternatif Helanuansa, pesan inti ini tetap sama.
Di bagian reff, repetisi "Hanya Kau" diulang seperti mantra. Dalam versi SPR, kata-kata ini bisa jadi adalah bagian chorus yang paling keras dan mudah diingat, dinyanyikan bersama oleh banyak vokal. Sementara Helanuansa mungkin mengulang-ulang bagian ini dengan paduan suara yang lembut atau efek vokal yang bergema, menciptakan perasaan terisolasinya seseorang yang sedang berdoa. Bukan bagian dari pengulangan biasa saja, tetapi luapan penegasan keyakinan. Dari "hatiku" merambah ke "jiwaku", lalu menempati "pikiranku". Sebuah perjalanan dari rasa menuju kesadaran terdalam. Seperti air yang meresap pelan-pelan ke tanah, sampai menemukan sumber mata air.
Sebagai sebuah karya musik, kontras antara kedua versi ini sungguh memukau. Bayangkan versi SPR: intro gitar listrik yang langsung menyerang, drum yang cepat dan agresif, vokal yang serak dan penuh energi. Verse dinyanyikan dengan tempo cepat, lalu chorus meledak dengan power chord yang lebih berat. Lalu bandingkan dengan versi Helanuansa: intro dengan synthesizer atau gitar listrik bersih yang berdelay, drum machine dengan beat yang minimalist dan dalam, vokal yang lebih halus dan bernuansa. Lirih suara vokalis menjadi penambah sepi. Saat chorus tiba, mungkin ada tambahan lapisan sound yang padat dan atmosferik, tetapi tidak dalam bentuk ledakan, melainkan gelombang kesedihan yang membesar. Disini titik kulminasi mencapai batas maksimal.
Bridge-nya menjadi klimaks yang lain. "Hanya Kau yang ada di jiwaku" dinyanyikan dengan keyakinan penuh, seperti pengakuan iman. Dalam versi SPR, bagian ini bisa jadi diisi dengan break-down yang lambat dan berat sebelum kembali ke tempo cepat. Musik mungkin mereda sebentar, memberi ruang bagi kalimat sakral ini, sebelum kembali mengalir deras menuju akhir yang menghanyutkan. Helanuansa mungkin justru menjadikan bridge ini sebagai puncak dari seluruh lagu, dengan vokal yang meninggi dan arrangement yang mencapai klimaks emosionalnya sebelum fade out dengan perlahan.
Lirik semacam ini, dalam perjalanannya dari punk ke alternatif, mengingatkan kita pada puisi-puisi sufistik. Pada Jalaluddin Rumi yang melihat cinta manusia sebagai cermin cinta ilahi. Kekuatannya justru pada ambivalensinya - kemampuan untuk menjadi dua hal sekaligus tanpa kehilangan makna, dan kemampuan untuk diinterpretasikan ulang melalui genre yang berbeda tanpa kehilangan jiwanya.
Menurut awak, "kelembutan lirik" yang membuat karya "Bulan" ini menyentuh. SPR sangat jujur sekali dalam memaknai kerapuhan manusia - tentang kebingungan, tentang usaha pelarian yang gagal. Tapi sekaligus SPR dengan teguh membuktikan dalam keyakinan - bahwa di balik semua kesepian, ada Satu yang tak pernah benar-benar pergi. Bahwa bulan dan sepi bisa dibohongi, tapi kehadiran-Mu tak bisa disangkal. Melalui teriakan punk SPR dan renungan alternatif Helanuansa, lagu ini membuktikan bahwa jiwa sebuah karya yang otentik akan tetap bersinar, terlepas dari bungkus musik yang melingkupinya.
Di tengah dunia yang semakin gaduh, lagu seperti ini adalah ruang hening. Tempat kita mengakui bahwa kita seringkali bingung, seringkali mencoba lari, tapi pada akhirnya yang kita cari adalah sesuatu - atau Seseorang - yang bisa memenuhi seluruh ruang di hati. Dan kebenaran ini bisa disampaikan baik melalui guitar distortion yang memekakkan telinga maupun melalui melodi synthesizer yang menyelinap ke dalam kalbu.
Atau mungkin saja, lagu ini khusus diciptakan untuk Kekasih Hati yang benar-benar pergi.
Comments
Post a Comment