Skip to main content

El Comandante Coffee





Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.


Warna orange mendominasi bangunannya. Bahkan warna terang ini memenuhi badan-badan meja tanpa kompromi. Ada suasana khas yang tampaknya sengaja dibangun oleh pemiliknya. Seperti kebanyakan kedai kopi di Banda Aceh, sebuah meja ditemani dengan masing-masing empat kursi. Bisa saja digabungkan dengan meja lain menyesuaikan kebutuhan. Hingga pengunjung dapat leluasa untuk melalui celah-celah antara meja satu dengan yang lain.

Aroma kopi yang khas memenuhi seisi ruangan. Pertanda tukang saring kopi (Barista) sedang berakrobat meracik hidangan kopi. Saringan diangkat setinggi mungkin, kemudian air kopi dibiarkan mendarat sempurna pada panci kecil yang telah disediakan pada bilah tangan lainnya. Berkali-kali air kopi keluar masuk saringan hingga berakhir pada gelas-gelas kaca. Jika sudah sesuai pada titik kulminasi dan siap saring, maka kopi baru akan disajikan kepada pengunjung. Maka tidak jarang bila kita terpaksa menunggu apabila baru saja ada pergantian bubuk kopi. Selain dari faktor kopi itu sendiri, penyaring kopi termasuk faktor yang paling menentukan dalam penilaian kualitas citarasa segelas kopi.

Beberapa tahun mengecap kopi Aceh bukanlah waktu yang lama untuk belajar mengenal citarasa kopi yang sesungguhnya. Hanya saja lidah sekarang mulai terbiasa menilai bagaimana kualitas dari segelas kopi. Layaknya bir di Paulaner Brahaus, kopi di Elcomandante memang terasa spesial dan berbeda karena diproduksi secara manual dan tidak melibatkan zat-zat kimia dalam penyajiannya. Kualitas tanaman kopi dijaga hingga panen sempurna. Kemudian dikemas dan diracik menjadi bubuk kopi secara higienis hingga diramu menjadi hidangan segelas kopi.

Dari radius beberapa meter dapat jelas tercium aroma kopi yang belum dibubuhi gula. Menjadi kebiasaan untuk menikmati segelas kopi tanpa gula. Tidak mencampur kopi dengan gula atau susu merupakan cara sederhana untuk mengetahui kadar kenikmatan segelas kopi. Kopi masih terasa hangat di lidah, tidak langsung saya biarkan melintasi tenggorokan. Seperti istilah di warung nasi Padang, “tambuah ciek!”, ingin cepat rasanya meminum kopi meski gelas belum lagi mendarat di meja. Meski cara tersebut salah bagi kebanyakan masyarakat Aceh. Seni dari segelas kopi adalah bagaimana cara menghabiskannya. Kebanyakan dari masyarakat Aceh meminum kopi dengan cara perlahan. Ada lagi kebiasaan unik yang saya temukan di kedai kopi yang nyaris modern ini, “Kopi adalah teman bicara” sehingga kebanyakan pengunjung akan menghabiskan kopinya setelah pembicaraan selesai. Entah selesai dalam waktu yang lama sekalipun. Menjadi kebiasaan kedai kopi di Aceh untuk membiarkan pengunjungnya berlama-lama berada di sebuah kedai kopi.


Tidak hanya kopi saja yang menjadi andalan dari Elcomandante, ada sajian sanger, kopi espresso, sajian makan pagi dan malam yang berbeda. Layaknya kebanyakan kede kopi di Banda Aceh, beberapa fasilitas seperti wifi, mushala, toilet, parkir, layar lebar untuk nonton bareng juga disediakan. Elcomandante Coffee berani mengkreasikan tatanan kedai kopi secara modern. Sehingga tak heran bila saya kerap singgah kemari. Sembari menikmati hiruk pikuk terminal dengan bus-bus premium di Indonesia, menikmati segelas kopi atau bahkan kopi kocok telur seperti Teh Talua di Minang sana. 

El Comandante Kupi Bereh | Jl. Prof. Dr. Mr. T. Muhammad Hasan, Batoh | Open. 24hours | IG.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen