Skip to main content

Lombok, Last Trip 2012 (part 1)



Tiba di Stasiun Tugu Jogja, malam itu 26 Desember 2012 tepat pukul 00.35 WIB. Kereta Malabar ini telat lagi ternyata. Jadilah dijemput Ilka kawan yang kuliah di Jogja. Dengan sepeda motornya melaju santai ke rumah kontrakan, menanti kawan lama Poltak disana dengan sekawanan lainnya. Karena perut lapar, jadilah meluncur menikmati soto sampah, ah mungkin saja saya lupa namanya. Yang pasti alunan biola musisi jalanan itu nyaman di telinga. Dalam perbincangan hangat beberapa minggu sebelumnya, Malang menjadi tujuan akhir tahun ini. Tetapi perbincangan yang beralih di sebuah kedai kopi yang lagi lagi saya lupa namanya tetap tak membuahkan kata puncak bahwa kita harus ke Malang.

Pagi belum lagi sempurna ketika jam 8 pagi bangunkan lelap dari tidur yang sejenak. Poltak asik bertelepon dengan suara di ujung Makassar sana. Bagaimana kalau kita ke Makassar? Ujarnya pelan. Kenapa tidak ke Manado sekalian saja sambutku. Datang rupanya si kawan dari sebelah kamar sembari mengatakan, Surabaya Lombok murah loh, sekitar 300ribuan. Aih sudah kita ke Lombok saja, Ilka segeralah pergi cari tiket Sri Tanjung!
Semacam sulit atau keadaan yang tak berpihak, kembalilah Sang Pencari Tiket dengan mata sayup. Tak ada tiket katanya. Di calo pun tiada, kalau mau naik kereta Sri Tanjung gerbong AC, harganya 150ribu. Aih jadi merinding dengarnya. Di panggilah beberapa kawan yang berasal dari Lombok. Packing barangmu, besok kita ke Lombok telp Poltak dari dalam kamar. Seperti mendapat panggilan jiwa, tak lama mereka berkumpul disini, di kontrakan yang asri ini. Sembari bingung, sembari menghubungi orang tua karena takut pulang belum sarjana, semacam goyahlah kawan kawan apakah nian akan ke Lombok. Mereka sebelumnya sudah pernah kesana, sedang saya tak pernah. Maklum, apalah saya ini hanya sarok sarok kwaci, bisa pesiar kalau ada rejeki. Hari ini berlalu seperti biasa, hingga siaran sepakbola hantarkan malam menutup mata. Pagi kembali, Ilka cs mengulangi mencari, dan seluruh tiket Sri Tanjung tiada yang tersisa lagi. Ada baiknya kita nikmati dulu nasi telur ini, supaya mata sedikit berani, membelalak menatap hari.

Kemasi barang kalian sekarang, tak perlu mandi, segera cari bantuan untuk antarkan kita ke Giwangan. Berangkatlah kami ke kontrakan Poltak. Dengan semangat 45 aih jadul ya, semangat 2012 saja, berkumpullah kami disana. Tebar racun sana tebar racun sini, bijaksana dan bijaksini, jadilah 9pria perjaka turut serta dalam keberangkatan kali ini. Seperti tak disangka, tapi tak apalah. Kalau sudah niat jangan dibiarkan mengambang, bisa terbawa mimpi nanti. Selepas siang merapatlah di depan terminal Giwangan, sembari masuk ke dalam ruang tunggu yang kumuh, menatap calo calo tak kunjung diam jemu. Dapatlah lintasan Jogja - Banyuwangi. Di pojok, tertutup, gelap dan baiklah sedikit pengap. Atas lobi lobi Yahudi, didapatlah tiket seharga 85ribu per orang. Bah cemana rupanya? Ini sama saja dengan harga tiket batas ambang maksimum. Tapi biarlah kami pergi untuk menikmati hari.

Bus Mira ini melaju sangat pelan, kondisi jalanan macet parah. Semoga hujan ujarku, agar jalanan sedikit lengang. Dan bim salabim, hujan betulan wak. Tapi tak mempercepat laju jalan. What? Jogja - Solo itu hampir 4jam? Aih cape banar wal. Masuklah bus ke dalam terminal yang tergenang air, piye iki kepala daerah e yo? Menyeruak ke dalam penjaja makanan dan minuman. Dengan sigap kami sambut dengan gegap gempita nasi telur 5ribu rupiah. Dan kini mata kembali terang benderang pemirsa. Hampir setengah malam, ketika mata terbangun dan terkejut, bapak supir tua ini membawa lari bus melesat kencang. Dengan satu tangan bersandar di kaca, dan tangan kiri asyik memutar kemudi. ASLI MERINDING!! tanpa supir ganti, dengan tenang dia paksa bus ini berlari. Setengah takut, ada baiknya kembali tidur menikmati malam. Ketika dibangunkan, singgahlah kami di warung makan soto Madura. Rasanya kita sudah berjalan jauh. Selepas kenyang, kembali melaju di lintasan. Dengan duduk di bangku hot seat, serasa melihat atraksi betapa bus bus Patas AC yang mengarah ke Banyuwangi dilibas dengan santai oleh Pak Tua ini. Sayang perjalanan terganggu sejenak karena harus mengganti ban. Hingga akhirnya kami di oper lambung ke bus lain di Jember. Sudah biasa begitu bus ekonomi, kalau tak ada penumpang pasti dititip ke bus lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen