Skip to main content

Semerbak Pagi Phon Kirana Kopi Medan

 

Setelah turun dari bus, kusempatkan mandi pagi di kamar mandi yang tersedia di bagian belakang loket bus di bilangan Jalan Ring Road. Jalan ini juga lebih familiar dengan nama Jalan Gagak Hitam. Udara Kota Medan pagi itu masih terasa sejuk. Lalu lalang kendaraan mulai menghiasi jalanan, sementara matahari masih belum terlihat keberadaannya. Jika berada di Banda Aceh, tentunya tak akan kesulitan mencari kedai kopi yang sudah buka sepagi ini. Bus yang saya naiki semalam meninggalkan kota demi kota dengan cepat dan lugas. Wajar saja jika jarak tempuh 600an kilometer ini dilibasnya dalam 10jam saja. Tinggal beberapa waktu di Bumi Serambi Mekkah membuat lidah ini seperti dimanja, terlalu suka pilih-pilih kopi yang bercita rasa makna. Bahkan tak jarang bibir ini lirih berbisik "kopinya kurang terasa". Kurang dari beberapa menit, ojek online telah membawa pagi ini membaur dengan hiruk pikuk ibukota Sumatera Utara. Masih pagi sekali, sehingga tak terasa sudah tiba di tempat yang dituju.

 
Mas Agus dan Al (Putra Wak Phon)

Kedai kopi yang saya datangi tidaklah berada di jalan protokol, tetapi tidak juga jauh dari keramaian. Letaknya berada di belakang ruko-ruko penjual kendaraan roda empat. Sebagian warga Medan tentunya akan benar menebak dimana keberadaan kedai kopi ini. Setibanya disana, kedai kopi belum benar-benar beroperasi. Baru sebagian meja dan kursi tertata di pelataran belakang ruko yang berjajar. Biasanya akan ditata hingga ke ujung berdekatan dengan pagar belakang pemilik ruko lainnya. Sepintas sudut ruangan ini menyerupai sebuah penjara. Petang nanti, posisi sudut itu akan menjadi pilihan para pengunjung. Blok D namanya, jika siang akan terasa panas.

Suara mesin penghancur biji kopi elektronik terdengar menyala, seperti ingin meraung tetapi terbungkam dalam dada. Setelahnya, aroma bubuk kopi menyeruak memenuhi rongga pernafasan. Harumnya sangat khas bahkan dari beberapa meter jaraknya. Seorang pria paruh baya, dengan kaos dimasukkan rapih ke dalam celana, dibalut ikat pinggang kulit, jelas parlentenya, menyapa dari dalam gerobak kecil miliknya. Senyum ramahnya menjadi ciri khas Phon Kirana Kopi. Tak pernah sungkan senyum itu ditebar kepada setiap pelanggan yang datang. Wak Phon mungkin sedikit kaget melihat kedatangku sepagi itu. Wak Phon pemilik sekaligus menjadi peracik handal Phon Kirana Kopi. Abang Ucok Palembang dan Papa James Rock N Roll yang mengenalkanku dengan tempat ini. Tidak berpanjang lebar, saya biarkan Wak Phon melanjutkan aktivitasnya membuka kedai kopi.

Wak Phon
 
Suara pengeras suara terdengar dinyalakan. Dengan cepat kusambungkan dengan telepon selular.
"Si les fleurs
Qui bordent les chemins
Se fanaient toutes demain
Je garderais au cœur"

Lantunan lagu mengiringi suasana pagi Phon Kirana Kopi. Petite Flure tersambung dengan bluetooth, meski sejatinya aku tak begitu paham artinya. Tapi biarlah jika demikian suratan tangannya biarkan semua yang memudar dan sirna tetap tersimpan di dalam hati. Belum lagi lagu The End of The World mengudara, secangkir sanger telah disajikan Wak Phon di atas meja. Tiga cangkir gelas dibawanya, satu untukku, satu untukknya dan satu lagi untuk Abu (Bapak) yang membantunya membuka kedai.

 
Ngopi pagi bareng Al

Beberapa kali menyambangi kedai kopi ini, aroma kopinya tak pernah berubah. Bahkan ketika Mas Agus yang membuatnya. Wak Phon sepertinya mampu menurunkan bakat kepada pemuda-pemuda yang belajar meracik kopi disana. Rasanya enggan berjumawa, tetapi sanger arabika yang disajikan sungguh terasa. Seperti berada di sudut Pasar Takengon rasanya. Soal rasa, jelas saya bukan seorang yang paham, tetapi setidaknya lidah ini terkadang nakal dan berani sedikit bernalar tentang warna. Sanger yang disajikan pagi ini sangat lembut, ketika masuk ke dalam mulut, ada intuisi yang mendorong ke dalam sudut-sudut rongga. Seberapa banyak yang harus diteguk dalam sekali tarikan, ini hanya soal kebiasaan saja. Kedai ini memang tak semewah Tram Deppot Testaccio di Roma sana. Kursi dan meja yang tersedia terbilang biasa saja. Tetapi kursi-kursi tersebut sebentar saja akan terisi pengunjung. Dari yang sekedar untuk berbincang berkelakar, bermain catur, hingga perjumpaan bisnis. Mereka semua mungkin punya pemikiran yang sama jika cita rasa kopi disini sungguh berwarna. Ada bulir-bulir kopi pilihan yang terjaga sehingga wajar ketika Phon Kirana Kopi menjadi ikon pembuka di Jalan Kirana. Menjelang siang, kedai kopi ini menyajikan minuman madu dingin yang mungkin jarang kita temui di tempat lainnya. Seperti kedai kopi Aceh kebanyakan, Phon Kirana Kopi juga mampu menyajikan beragam varian kopi yang dibalut dengan es. Sehingga wajar jika kaum tua dan muda berdampingan memenuhi kedai di Jalan Kirana No 1 ini.


 

Meski kedai kopi ini hanya menyajikan minuman saja, tak perlu khawatir jika perut terasa lapar. Tepat di lokasi yang sama tersedia juga kedai yang menjajakan roti bakar, burger, pisang bakar, kebab serta camilan lainnya. Sepintas memang bukan seperti kedai kopi mewah yang jelas punya cita rasa. Sehingga wajar ketika pengemudi ojek online sedikit heran dan berkata "Abang yakin ngopi di kaki lima ini?"

Blok D
Phon Kirana Kopi
Jalan Kirana No 1, Petisah, Medan
Buka Senin - Minggu Pukul 07.00-19.00


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen