Skip to main content

Sarapan Pagi di Pasar Way Halim

Sepekan lalu kembali menginjakkan kaki ke Daratan Bumi Sang Ruway Jurai. Mungkin ini perjalanan penutup tahun 2014. Kembali perjalanan kali ini bersama Ezik Zikra Muallimin. Kawan bermain beberapa tahun terakhir. Banyak tempat kuliner yang tersebar di Bandar Lampung. Sehingga membuat kami bingung akan dimulai dari mana pagi ini. Sebenarnya kemarin sudah lebih dulu tiba siang hari di Bandar Lampung. Tidak mau berasumsi lebih jauh, maka makan siang kali itu diselesaikan dengan menikmati hidangan Rumah Makan Begadang. Pagi itu mencoba berkeliling kawasan PKOR sebagai Landmark Bandar Lampung. Sebenarnya tidak ada alasan kuat kenapa saya katakan sebagai Landmark, tetapi sekilas terlihat disana beberapa bangunan pusat kebudayaan kabupaten-kabupaten di Propinsi Lampung. Mungkin saat itu masih terlalu pagi, sehingga belum timbul selera untuk menikmati sarapan pagi di lokasi ini.




Berputar-putar di seputaran Bandar Lampung membuat kami terdampar ke daerah Way Halim. Hardian seorang kawan dari Lampung pagi itu mengatakan bahwa makanan di kantin pasar beragam. Rasanya perlu dicoba. Sepintas lokasi pasar ini kurang menyakinkan. Mungkin karena lokasinya kurang terlihat bersih. Rasa penasaran mulai hadir karena melihat lalu lalang pengunjung yang meramaikan riuh rendah suasana pasar pagi itu. Beberapa gerobak jajanan makanan tradisional berbaris rapi di tepi foodcourt. Sedikit aneh bagi saya karena melihat ada gerobak mpek mpek Palembang. Aneh bagi saya karena jarang melihat orang yang sarapan dengan mpek mpek di pagi hari. Lainnya memang tidak ada yang asing bagi saya. Beragam jenis soto, bubur ayam hingga sate Padang tersedia di lokasi ini.

Berkeliling sejenak maka dipilihlah sate Padang sebagai menu pembuka pagi ini. Jangan khawatir bila kursi dan meja dekat gerobak pilihan sudah penuh. Kita dapat bebas duduk dimana saja di foodcourt Way Halim. Sedikit lama saya menunggu hidangan disajikan. Mungkin memang sedang ramai pemesan. Kebanyakan pengunjung terlihat sebagai masyarakat yang berbelanja. Sesekali juga terlihat pembeli yang akrab dengan penjual. Mungkin mereka adalah penghuni dari Pasar Way Halim ini. Dari tampilan sate Padang yang disajikan sebenarnya kurang menarik. Mungkin karena saya terlalu sering menikmati Sate Padang di berbagai daerah. Mungkin pangsa pasar membuat penjual tidak terlalu memperhatikan soal tampilan dari menu yang dijajakannya. Tetapi rasa daging yang nikmat sangat terasa di lidah. Bumbu yang disajikan sangat lembut. Sangat nyaman ketika masuk ke dalam tenggorokan. Jika saja tampilan sate ini diperhatikan, bukan tidak mungkin menu ini menjadi idola di Pasar Way Halim.

Menu lain yang sempat saya lihat adalah bubur ayam, hanya saja saya tak sempat mencicipinya. Seporsi sate yang saya pesan sudah membuat perut kenyang. Cocok memang bagi pengunjung yang ingin mencari sarapan di Way Halim. Harga yang bersahabat sangat cocok di kantong pengunjung. Sesekali saya mencuri pandang kepada pengunjung yang menikmati Soto Daging Sapi. Sebenarnya air liur saya mengalir dengan deras. Melihat tampilan daun bawang dan kuah yang menggugah selera. Kerap saya temui kuah soto yang berwarna. Tapi pagi itu nyaris bening kuah soto yang disajikan. Mirip seperti kuah Sup. Wangi harum daging sapi membaur dengan suasana pagi itu.

Bila ingin sarapan dengan jajanan ringan, coba saja masuk ke dalam pasar. Beberapa kios terlihat menjajakan beberapa penganan pasar. Seperti pisang goreng, risoles dan beberapa jajanan lainnya. Seperti kebanyakan pasar di Indonesia, harga yang ditawarkan lebih murah ketimbang kita membelinya di warung warung dekat rumah. Mungkin dari sinilah pedagang di warung berbelanja jajanan tradisional. Jika kalian bingung mencari sarapan di seputaran Bandar Lampung, tidak ada salahnya mencoba sarapan di Pasar Way Halim.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen