Skip to main content

Tugu Simpang Lima



Lama tak menulis di blog ini. Beberapa waktu yang lalu saya kembali melintasi Simpang Lima Banda Aceh. Sesuai dengan namanya, simpang ini memiliki lima buah cabang yang memisahkan lima buah jalan di tengah kota Banda Aceh. Mungkin karena sesuai dengan jalan yang bercabang lima maka simpang ini lebih terkenal dengan nama Simpang Lima. Mendengar Simpang Lima di Kutaraja ini mengingatkan saya akan Simpang Lima di Semarang. Hanya saja daerah di Banda Aceh ini benar benar sebuah persimpangan. Simpang Lima ini juga mempunyai catatan waktu lampu merah yang lama seperti Simpang Surabaya maupun Simpang Jambotape. Sehingga bila kita melintasi Simpang Lima di siang hari, sungguh akan membosankan. Terlebih cuaca panas sering melanda Banda Aceh. Sudah barang tentu banyak orang yang akan menghindari daerah ini termasuk saya kecuali memang terpaksa.

Tetapi cerita membosankan tersebut akan menjadi lain apabila kita melintasi daerah ini pada malam hari. Selain ramai lalu lalang lampu kendaraan dan lampu baligo besar di tepi jalan, fokus saya sering mengarah ke sebuah tugu yang terletak di tengah-tengah Simpang Lima ini. Sepintas dibuat seperti Tugu di Yogyakarta sana. Yang membedakan adalah Tugu ini dikelilingi oleh bundaran. Mirip seperti bundaran Tugu di Simpang Lambaro. Sebenarnya ada beberapa tugu unik lain yang terletak di persimpangan di seputaran Banda Aceh. Tugu Lambaro, Tugu di persimpangan Pangkalan Udara, Tugu di depan Bandara. Hanya saja jarang sekali saya lewati dan kesannya seperti biasa saja.
 
 
Tugu Simpang Lima ini sepintas terbentuk dari 5bagian bidang dan sebuah ukiran kuningan seperti Siger Lampung. Bagian bawah terlihat lebih besar berwarna putih dengan sedikit corak tangga segitiga berwarna coklat. Di atas bagian dasar sepintas terlihat seperti motif anyaman khas Aceh.  Demikian juga pada bagian ketiga seperti corak ukiran di plafon rumah-rumah Aceh. Pada bagian ke empat nyaris terlihat lambang pohon beringin. Mungkin saja Tugu ini dibuat sejak jaman Orde Baru, atau beringin tersebut melambangkan sebuah Bank yang jelas tertulis di bawahnya. Bagian paling atas bangunan ini tidak dapat saya cerna dengan baik. Sepintas mirip dua buah rencong terbalik yang ditutupi cawan. Atau bisa saja sebuah lambang lainnya. Sedangkan bagian paling luar atas terlihat ukiran dari kuningan/perak/besi yang menyerupai Siger Lampung. Hanya saja bentuknya bercabang.
 
 
Mungkin saja yang saya gambarkan tidak semuanya sesuai dengan makna dari Tugu Simpang Lima tersebut. Bagi saya bangunan ini cukup menarik terlebih jika dilihat pada malam hari. Tugu di Simpang Lima ini bisa dijadikan obyek wisata. Sebagai ikon Banda Aceh selain Pintu Aceh. Temaram lampu dan kerlap kerlip yang menghiasi tugu ini menambah semarak malam di seputaran Simpang Lima. Bukan tidak mungkin Tugu Simpang Lima ini diabadikan menjadi sebuah foto ataupun sebuah kartu pos. Wisata di Banda Aceh tidaklah melulu harus bertemakan tsunami.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen