Skip to main content

Mixed Rice Petaling Street


Saya terdampar di area ini setelah berjalan-jalan dari Pasar Seni. Perut keroncongan dan sedikit letih karena ransel di punggung bertambah beban dari keringat yang menempel pada pakaian kotor. Mungkin ini yang disebut sebagai Petaling Street. Sekalipun salah biarlah saya meyakini bahwa daerah ini bernama Petaling Street. Kehidupan mulai terlihat pagi itu. Para pedagang mulai menggelar lapak dagangannya. Ada yang membuka toko ada yang mulai memindahkan roda bahkan mengangkat rak jualan dari tempat penyimpanan ke tepi jalan. Nyaris seperti Khaosan Road di Bangkok. Tapi setidaknya tidak semerawut di Gasibu. Pejalan kaki masih nyaman melenggang meski sesekali harus menepi karena ada kendaraan yang lewat. Jalan ini sangat nyaman karena sepanjang jalannya diberi atap yang dihiasi lampion dan bendera warna warni. Setidaknya ini bisa saya asumsikan sebagai Petaling Street. Bila salah mohon maafkan, karena sekembali dari Melaka saya tetap memutuskan untuk mengunjungi jalan ini kembali. Sekedar memastikan bahwa inilah Petaling Street itu.



Melihat bahwa ujung jalan ini merupakan batas area pedagang maka saya putuskan untuk kembali putar kepala. Kali ini menyusuri jalanan dari sisi kiri badan jalan. China Town Food Paradise memang tidak tampak terlihat. Papan nama ini berada di atas sebuah bangunan tua. Mungkin lebih mirip dikatakan sebagai food court karena terdapat beberapa penjaja makanan di dalamnya. Bangunan ini berada di belakang pedagang kaki lima. Sehingga mungkin akan sangat kesulitan mencarinya. Sepintas memang biasa saja terlihat. Hanya penjaja makanan dan minuman. Ada sebuah papan iklan di bagian depan yang membuat saya penasaran. Jelas sekali terlihat mixed rice. Berdasarkan pemahaman sempit saya berbahasa asing, mixed itu tak mungkin jauh arti dari mixxer yaitu pencampur atau campuran. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mempelajari cara memesan makanan pagi itu. Tentu saja karena banyak pengunjung yang memesan makanan terlihat. Ada yang makan di tempat ada pula yang dibungkus. Seperti layaknya makan di warung padang, berbagai makanan tersaji di meja jualan. Ada ikan, daging, dan sayuran. Saya hanya diambilkan sepiring nasi oleh penjual. Setelahnya dipersilakan mengambil sendiri lauk pauk yang diminati. Hanya daging goreng, sayur tahu dan kuah saja yang saya ambil. Mengingat saya belum mengetahui harga makanan di China Town Food Paradise ini. Jangan sungkan untuk bertanya mana saja jenis makanan yang halal. Meski China food, food court ini juga menyajikan ayam dan bebek sebagai menu lainnya. Meja kasir juga berada di tempat yang sama. Sarapan saya kali itu hanya dikenai 5RM saja. Mungkin lokasi ini bisa dijadikan rekomendasi bagi kalian yang mencari makan murah di Petaling Street.

Sembari menunggu kedatangan es kosong, pandangan mata saya layangkan ke segala penjuru area ini. Tepat di samping kanan saya terdapat lemari kaca berisi bakpao. Sengaja saya duduk menghadap ke lokasi gedung untuk memperhatikan bagaimana dan apa saja kesibukan di lokasi ini. Terdapat beberapa kedai di dalam ruangan dengan meja dan kursi di bagian tengah aula. Terlihat jelas di bagian kanan kedai yang menjual makanan bagi kaum vegetarian. Sementara kedai lainnya identik dengan bebek, ayam dan babi. Nasi di Malaysia ini sedikit lebih keras dari nasi di Indonesia kebanyakan. Tak apalah daripada lapar terus menghampiri. Kuah yang disajikan cenderung kental. Wujudnya lebih cenderung menyerupai saos. Tapi sangat lembut di lidah. Daging goreng yang disajikan tidak terlalu keras dan lembek. Sehingga tidak menyisakan serat di sela-sela gigi. Tahu yang mendarat di lidah nyaris rasanya seperti tahu mamang baso di Bandung sana. Untuk sekedar mengisi perut tidak ada salahnya mencicipi menu makanan di China Town Food Paradise. Selain mengambil sendiri lauk pauknya, harga yang ditawarkan juga sangat terjangkau. Maka tak heran saya kembali kemari keesokan harinya.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen