Skip to main content

Nostalgia Bersama Antar Lintas Sumatera

Bagi kebanyakan orang di Sumatera dan sebagian Jawa tentunya pernah mendengar nama ALS. Jika mendengar kata tersebut pasti yang terlintas dalam benak adalah bus tua dengan muatan barang sampai ke atap. Moda transportasi ini memang mengarungi hampir 3/4 Kota Kota di  Pulau Sumatera hingga nyaris ke ujung timur Pulau Jawa. Perusahaan Otobus yang berbadan hukum Perseroan Terbatas ini mempunyai nama panjang Antar Lintas Sumatera. Wajar saja ALS berani membawa nama besar Sumatera karena rute yang terbilang panjang di Sumatera. Beberapa tahun kemarin saya masih berkesempatan melihat ALS lalu lalang di Terminal Batoh Banda Aceh. Tetapi tak bertahan lama, sekarang tak terlihat lagi. Praktis hanya beberapa PO saja yang melayani rute Banda Aceh - Bakauheni - Jakarta seperti PMTOH, Pelangi, dan Kurnia. Anggapan sebagai bus tua mungkin saja bisa kita kesampingan di era sekarang ini. Pertengahan 2006 saya pernah mencoba Rute Medan - Bandung hanya saja saya hanya ikut dari Prapat hingga ke Lubuk Linggau. Not bad lah untuk ukuran bus long trip, meski kaca sebelah kiri tepat di depan pintu hanya berlapiskan plastik. Ulah atlet pelempar batu masih merajai tingkat perusakan bus di Sumatera.

 


Saya lupa antara Pebruari atau Maret kemarin berencana menikmati rute Sidempuan lagi. Sudah lama tak melintasi rute ini. Perjalanan terakhir lintas Sumatera saya habiskan dengan rute Banda Aceh - Medan - Pekanbaru - Bukittinggi - Muarabungo dan Banda Aceh - Medan - Pekanbaru - Jambi - Palembang - Tanjung Karang - Bandung. Tiba di Medan dengan armada kebanggaan 7449 dengan Bang Ucok sebagai pilot PMTOH saat itu yang kini tinggal kenangan. Apa yang terlintas ketika tiba tiba mendapat kabar bahwa konser Pidi Baiq dibatalkan di Medan? Kecewa tentunya dan bunuh diri adalah dosa. Berpikir keras apa yang hendak di lakukan di ibukota Sumatera Utara ini. Alhasil didapat alasan untuk naik angkot menuju Terminal Amplas. Kenapa naik angkot? Bila jalan kaki akan letih tentunya. Ada sedikit rindu yang mendalam ketika memasuki halaman Pool ALS. Disambut dengan senyum kekar security yang bertugas dan diarahkan langsung menuju loket penjualan tiket.

Bangunan yang disediakan tidaklah besar jika kita melihat dari tepi jalan. Dinding kaca disajikan membuat kita dapat melihat luas ke dalam. Tepat di pintu masuk terlihat stiker sedang menghiasi pintu kaca. Loket ini cukup nyaman sebenarnya menurut saya. Ketika masuk ke dalamnya maka akan terlihat jelas di sebelah kiri beberapa loket yang melayani penjualan tiket dengan rute yang berbeda beda. Sepintas saya melihat ada rute Bandung - Jakarta, rute Jawa, rute Padang. Saya putuskan kali ini untuk memesan tiket jarak pendek, Medan - Lubuk Linggau. Ada dua armada hari ini yang akan berangkat. Yang membedakan keduanya hanyalah fasilitas toilet. Harga yang ditawarkan pun memiliki perbedaan yang signifikan hampir 100K selisihnya. Sekali lagi maaf, mungkin karena terbiasa di Aceh dengan bus bus yang nyaman, maka harga bukanlah persoalan. Maka pagi yang sedikit mendung itu saya putuskan untuk naik kelas Eksekutif. Jika tidak salah tiketnya 380K. Asumsi saya akan nyaman dan cepat sampai tujuan. 

Mata memandang jauh ke belakang, terlihatlah puluhan bus terparkir dalam halaman ruang yang berbeda. Sesekali pintu pagar di buka maka akan terlihat dua sampai tiga kepala bus yang tampak. Sebenarnya saya penasaran ingin melihat ke dalam. Tetapi karena segan maka niat tersebut diurungkan. Bila di Aceh penomoran tiket bus dilihat dari plat nomor bus tersebut, maka di ALS ini dapat saya ceritakan bahwa penomoran berdasarkan nomor urut lambung bus. Sehingga dari jauh dapat saya pastikan armada mana yang akan saya naiki nantinya. Bukan saya tumpangi ya, karena saya naiknya bayar tiket jadi tidak numpang. Karena bosan menunggu maka saya putuskan kembali ke dalam pool penjualan tiket. Foto-foto masa lalu ALS menjadi hiasan dinding ruangan. Ada terbersit kagum bahwa sisa sisa kejayaan ALS di masa lalu benar benar diabadikan menjadi momen sejarah yang tak terlupakan. Tak lama suara panggilan naik ke dalam bus berkumandang. Tak perlu saya ceritakan bagaimana kondisi di perjalanan, yang pasti 24jam hanya untuk menempuh rute Medan - Bukittinggi.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen