Skip to main content

Lombok, Last Trip 2012 (part 6)



Hari ini tak perlu menyewa kendaraan, selepas mandi kami akan menuju Air Terjun Benang Kelambu. Dengan kendaraan pick up bak terbuka sebagai penuntunnya. Tak lupa kami dibekali nasi, sayur serta ayam sebagai lauknya. Jalanan semula beraspal tebal, kembali menjadi bebatuan. Kira kira 40 menit berada di jalanan kami bertemu turis asing, “Where do you going?” “Benang Stukel Waterfall”, “Follow me”. Kedua gadis manis itu turut mengikuti kami dari belakang dengan kendaraan matik mereka. Tak lama mereka kemudian berhenti, karena alur kami membingunkan mereka. Mungkin tidak sesuai dengan peta mereka. Di tikungan terakhir mereka tak lagi terlihat setelah 10 menit rasanya mengikuti kami. Ternyata Air Terjun Benang Setukel dan Benang Kelambu itu tidak lah berjauhan.Setelah menapaki jalan mendaki dan berlumpur tibalah kami di depan pintu masuk lokasi tersebut. Dengan membayar retribusi sebesar seribu rupiah per orang maka kendaraan kami parkirkan di halaman depan. Belum tampak kalau ada tanda tanda air terjun di sekitar sini. Jalan setapak bertemankan warung makanan tradisional jelas di depan pandangan mata. Jalan semakin menurun, tak kurang dari 300meter berjalan didapatilah sebuah air terjun dari kejauhan. Yeahh lama tak melihat air terjun sekarang bertemu juga disini. Jalan setapak bertangga tangga tampaknya sengaja dibangun agar kita mudah mencapai lokasi ini. Di air terjun ini banyak sekali pengunjung ternyata. Mungkin karena sangat mudah ditempuh. Ada yang asik mandi, ada yang berfoto ria, bahkan ada yang masih takut dengan dinginnya air. Ada beberapa wisatawan mancanegara yang turut serta meramaikan lokasi ini.


Tak lama kami disini karena kawan kawan mengajak menuju air terjun yang lebih indah katanya. Di awal saya merasa ragu karena perjalanan mendaki dan hanya setapak saja. Keragu raguanku sementara hilang perlahan karena melihat beberapa gubug yang menjajakan makanan dan minuman. Pertanyaannya adalah tidak mungkin ada pedagang disini kalau tidak ada pengunjung yang datang. Berarti tidak perlu was was menapaki jalur ini. Setengah terengah engah kembali menapaki jalan yang sedikit licin selepas diguyur hujan. Sedang asik berjalan tiba tiba konsentrasi buyar karena ada suara muncul dari balik rerumputan. Nyaris saja saya melompat ke jurang. Hahahahaha rupanya ada kera yang  tak sengaja bersembunyi di balik rerumputan. Suaranya tadi “wammmmhhh” Hahaha jadi bahan lelucon saja kekagetan tadi. Tak lama berjalan, kami menyusuri titian jembatan dari batang kayu. Kalau dibawah ini adalah aliran sungai, berarti tidaklah jauh lagi air terjun tersebut.  Semakin bergegas karena hari turut mendung. Di balik tikungan terdapat warung tenda lagi. Setelahnya kemudian berjejer beberapa warung tenda, semakin dekat rupanya. Setelah jalan menurun maka didapati undak undakan tangga dari batu dan semen yang lebih rapih. Dalam hati, menuruninya akan mudah, bagaimana nanti menapaki jalan kembali? Aih lupakan yang penting sampai dulu, perkara kembali urusan nanti. Belum lagi sampai ke tepi, air terjun itu sudah menggoda mata. Decak kagum menyaksikan air yang turun dari tebing itu. Betapa sejuk dan syahdu lokasi ini. Ingin cepat kaki melangkah ke bawah. Baru saja tubuh mendekati air yang dingin, hujan mulai mengiringi waktu. Tak lama kamera mengabadikannya. Kesegaran yang tak terkira, dinginnya menusuk tulang. Badan serasa dipijit jika berada di bawah curahannya. Dingin tak lagi terasa karena canda tawa. Benar benar air terjun yang tersembunyi. Rencana makan di tepi air terjun ini dibatalkan sementara karena hujan masih turun. Nyaman sekali tubuh ini rasanya setelah digosok dengan batu. Berendam di aliran sungainya serasa mandi di dalam genangan air es. Dinginnya air hujan kini dikalahkan oleh kesejukan air terjun ini. Pepohonan yang masih menemani dengan rindangnya tak bertepi menambah syahdu suasana. Tak lama memang kami disini tetapi sebentar saja sudah seperti menikmati waktu yang lama di lokasi ini. Setelah mandi meski tak puas, kami beranjak kembali ke atas. Letihnya sepertinya tak terasa, anak anak tangga meski payah seperti mudah ditapaki. Tepat di warung tenda pertama kami mampir dan singgah. Saatnya menggelar makan siang ditemani rinai hujan. Dengan lahap sayur dan ayam serta nasi yang masih hangat ini berpindah tangan. Tahu dan sambal yang sedari tadi menggoda turut menghiasi bibir siang ini. Setelah menghabiskan kopi yang dipesan kami bergegas kembali. Sembari ditemani kesah selama minum kopi tadi. Dengan berjalan santai, tanpa kaos di badan, kembali menuju lokasi parkir kendaraan. Dua kali kami berpapasan dengan rombongan lainnya. Tampaknya rombongan pertama yang kami sapa dari daerah Jawa karena logat Sunda yang kental serta logat Jawa yang masih baku. Rombongan kedua adalah keluarga yang tak tertebak dari mana mereka J. Sampai juga di dasar, setelah mencuci kaki dan berpamitan dengan air terjun pertama tadi, segera kami kembali.

Tak lama berjalan, kami dikagetkan dengan serombongan kendaraan yang beriringan melaju dengan cepat. Lengkap berpakaian tradisional Lombok, dengan ikat di kepala. Wah ada apa ini? Tak jarang sesekali mereka menatap tajam ke arah kami. Ternyata ada yang akan melangsungkan pernikahan, dan mereka adalah iring iringan pengantinnya. Kalau tak salah ingat, kegiatan ini dinamakan dengan Nyongkolan. Iring iringan tersebut nantinya akan membawa alat musik lengkap, biasa disebut dengan Cimol. Rombongan musik akan berjalan ketika hampir sampai di lokasi pernikahan. Unik memang, tetapi satu hal lainnya adalah macet. Tetapi bagi kami, hal tersebut adalah hiburan. Betapa tidak, tak perlu dicari, kami menemukan penyelenggaraan adat budaya ini dengan tidak disengaja. Kami melanjutkan perjalanan dan kami menemukan Nyongkolan lagi di desa berikutnya. Ramai ternyata yang melaksanakannya hari ini. Sore itu 31 Desember 2012 kami masih menikmati nanar mata yang sinis menatap. Setelah kami mengabadikan moment tersebut, mereka langsung tersenyum. Mereka baru sadar bahwa kami adalah pendatang yang tak tahu apa itu Nyongkolan, sehingga mereka mempersilakan kami kembali melanjutkan perjalanan.  Terakhir saya baru sadar bahwa keberadaan kendaraan kami tadi turut memperlambat pergerakan mereka. Kesannya ugal ugalan, tetapi beginilah budaya yang ada. Jika ada beberapa Cimol yang berpapasan, maka tidak jarang mereka akan beradu kreatifitas, bahkan beradu suara. Tak lama sampailah kami di jalan besar menuju kediaman Hambali. Di ujung jalan ternyata ada gotong royong pembangunan mesjid. Ternyata budaya gotong royong tersebut masih hidup di daerah ini. Tua muda, lelaki wanita turut serta disana. Tibalah kami di rumah Hambali. Tanpa mandi lagi lagi, kami lekas berkemas dan permisi pamit karena akan kembali ke Mataram. Sebenarnya mata berat melihat betapa Hambali masih belum puas melepas rindu dengan orang tua nya. Tetapi apa daya, ini malam tahun baru, kami takut jalanan akan macet. Dengan pick up tadi kami bergerak menuju Mataram. Tentunya dengan Abang Hambali yang mengendarainya. Sembari menikmati lalu lalang Lombok, angin malam tak henti melambaikan salam.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen