Skip to main content

Mesjid Indrapuri, Masa Lalu Budaya Hindu di Aceh


Ada satu lokasi wisata sejarah yang menarik saya temukan sepintas ketika brwosing browsing. Mesjid Indrapuri di kawasan Kabupaten Aceh Besar. Kenapa saya katakan lokasi wisata sejarah yang menarik? Siapa yang menyangka bahwa Mesjid Indrapuri dulunya merupakan pusat peradaban Hindu di Aceh. Di daerah ini juga warga Hindu di Aceh dulunya mengembangkan kebudayaan dan pendidikan. Mesjid Indrapuri dapat ditempuh dari Banda Aceh dengan berkendaraan kira kira 30-40menit. Lokasi Mesjid Indrapuri ini berada di tengah tengah pemukiman penduduk. Meski lokasinya berada di dalam, mesjid ini tidak akan sulit ditemukan. Setiap warga sekitar yang ditanya, akan langsung memberitahu lokasi mesjid bersejarah ini.









Dari depan tampak undak undakan anak tangga mengawali bangunan mesjid ini. Dinding tampak berlumut bukan karena tak terawat, tetapi lebih karena dinding pagar yang sudah menua. Bangunan Mesjid Indrapuri masih sangat kokoh. Hanya saja ada beberapa tiang kayu yang perlu mendapatkan perawatan intensif karena lapuk dimakan jaman. Bangunan sengaja dibuat lebih tinggi dari dataran tanah sekitar. Hal ini dikatakan oleh orang tua di sekitar mesjid guna mengetahui rombongan lain yang datang di masa peradaban Hindu dulu. Halaman mesjid memiliki space yang cukup luas untuk kita berjalan atau sekedar duduk duduk di lantai menikmati hamparan pemandangan yang luas. Di depan Mesjid Indrapuri tampak bak untuk membersihkan kaki. Dulu, bak ini diperuntukkan bagi pengunjung yang datang dari jauh. Sedangkan kamar mandi berada di belakang. Ukiran-ukiran Hindu masih tampak terasa di beberapa kayu besar yang menyanggah bangunan ini. Satu hal yang membuat unik Mesjid Indrapuri adalah bentuk atapnya segi empat mengerucut ke atas. Jarang sekali saya temukan atap mesjid di Aceh yang berbentuk limas segiempat. Atapnya tidak hanya satu, tetapi bertingkat lapis tiga. Sehingga udara dapat keluar masuk dengan bebas. Mesjid ini menjadi salah satu pusat peradaban Islam di Aceh pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda. Banyak ahli agama, alim ulama, pemikir dan tokoh agama Islam yang dilahirkan dari sini. 

Masjid Indrapuri, atau yang dikenal juga sebagai Masjid Tuha Indrapuri, adalah sebuah tempat ibadah yang terletak di Desa Keude, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar. Meskipun ukurannya tidak besar, masjid ini memiliki sejarah yang kaya dan fondasi yang unik yang menjadikannya istimewa di mata para pengunjung dan sejarawan.

Sejarah Masjid Indrapuri memiliki akar yang dalam, terutama terkait dengan Kerajaan Lamuri yang berada sekitar 25 km di arah timur Banda Aceh pada abad ke-12 Masehi. Di pusat kerajaan ini, terdapat beberapa candi, termasuk Candi Indrapuri yang memiliki arsitektur khas Hindu. Namun, perjalanan sejarah masjid ini dimulai ketika Kerajaan Lamuri dikunjungi oleh Tengku Abdullah Lampeuneuen dan Meurah Johan, yang berasal dari Perlak dan Kerajaan Lingga, dengan tujuan mengajak Raja Lamuri dan penduduknya memeluk agama Islam.

Pada saat yang sama, Kerajaan Lamuri juga dihadapkan dengan ancaman bajak laut asal Cina. Tengku Abdullah Lampeuneuen dan Meurah Johan memberikan bantuan pada Kerajaan Lamuri dan berhasil mengusir pasukan bajak laut tersebut. Dalam proses ini, Raja Lamuri dan rakyatnya juga memeluk Islam, menjadikan perubahan besar dalam sejarah agama dan budaya di daerah tersebut.

Candi-candi Hindu yang tidak lagi digunakan kemudian mengalami kerusakan karena berbagai faktor alam, tetapi Candi Indrapuri tetap bertahan sebagai reruntuhan bangunan bersejarah. Pada tahun 1618 Masehi, di atas reruntuhan candi ini, Masjid Indrapuri dibangun sebagai lambang evolusi kebudayaan dan revolusi ideologis yang mengubah tempat ibadah Hindu-Buddha menjadi rumah ibadah umat Islam.

Lokasi Masjid Indrapuri yang strategis, tidak jauh dari jalan raya Banda Aceh-Medan, membuatnya menjadi tempat yang mudah dijangkau oleh pengunjung. Bangunan masjid yang berkonstruksi dari kayu dengan sentuhan ukiran tradisional bernuansa Arab menambah keindahan dan keunikannya.

Masjid Indrapuri tidak hanya sebuah tempat ibadah, tetapi juga saksi bisu dari perjalanan budaya dan agama di Aceh. Perpaduan antara sejarah Hindu-Buddha dan Islam yang terwujud dalam bangunan ini mengajarkan kita akan nilai-nilai toleransi, perdamaian, dan keberagaman budaya yang harus dijunjung tinggi.

Dengan demikian, mengetahui sejarah dan keunikan Masjid Indrapuri bukan hanya sekadar menambah wawasan, tetapi juga memperdalam penghargaan terhadap perjalanan panjang manusia dalam menemukan kedamaian dan kebersamaan di tengah perbedaan.

Jika sudah sampai di Banda Aceh dan Aceh Besar, tidak ada salahnya mengunjungi Mesjid Indrapuri, selain berwisata sejarah, bagi kalian umat muslim dapat sekalian beribadah di Mesjid bersejarah di Indonesia ini.




Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen