Skip to main content

NIAS (Nikmati Indahnya Alam Sumatera)

Berbekal dengan tekad dan kemauan yang luhur, berangkatlah sore itu dari Banda Aceh dengan Lion Air sore. Sekali sekali menggunakan pesawat tak apalah. Guna mengejar waktu, begitu pikirku. Sebenarnya bisa saja menggunakan bus malam ke Medan. Tetapi takut tertinggal pesawat. Diguncang awan dalam 50 menit penerbangan sempat membuat grogi. Sampailah dengan selamat sentausa di Medan tercinta. Menemui beberapa kawan dengan alih alih untuk menginap gratis. Bertemu dengan Om Roy Romero, iya sampai sekarangpun masih menjadi vokalis Emosi Bangsa. Ada juga Om Rahmad,  PNS | Mantan jurnalis | Platinum Member @Hitmansystem | Penggiat@MedanKnights | Pemerah @Bigreds_Mdn. Diajaklah saya makan malam sama Om Rahmad yang mantan pentolan PSMS Medan Fans Club. Tentunya bersama kawan kawan beliau dari Big Reds Medan. Saya pengagum Arsenal, ini bukanlah halangan yang merintangi untuk duduk dengan mereka. Kita berseteru hanya 2x45menit saja, itupun kalau bertemu ujarnya lagi. Makan malam yang menarik, meski sederhana, suasana keakrabanlah yang membuat waktu sangat berharga.


Menjelang dini hari merapatlah ke arena TST (Teh Susu Telur) Abadi. Sebagai markas besar dari punggawa punggawa Kinantor. Disini bertemu kembali dengan Jendral Abey, Bang Marisi Simorangkir, membicarakan ini itu semua apa yang ada dikepala. Hari benar-benar larut, beranjaklah kami ke peraduan markas PFC untuk beristirahat. Berjumpa lagi dengan Harry Saragih, pria dengan sejuta hesteg. Kalau tak percaya, follow saja @harrysaragih. Sambil menikmati suguhan KPK yang merona di layar kaca. Betapa tidak, KPK sore itu katanya baru dipreteli. Sembari menikmati cemilan, martabak, kopi, rokok kami dengan seksama memandang ratusan orang yang memenuhi gedung KPK. Malam itu hingar bingar disana rupanya.

Azan subuh berkumandang sayup sayup di telinga. Setengah sadar mencoba bangun dan membuka mata. Dengan tidak bermaksud mengganggu kawan kawan yang sedang terlelap, perlahan keluar ruangan tanpa menimbulkan suara. Diantarkan beca motor, sampailah di Bandara Polonia dengan pagi yang sepertinya masih juga buta. Semangat semakin menggebu ingin segera melihat Merpati MA60. Ya, saya akan menikmati layanan penerbangan Merpati. Saya paling tidak suka dipanggil sebagai penumpang Merpati, karena saya tidak menumpang, saya tetap membeli tiket :) Langsung menuju ruang check in. Terlihat seorang bapak yang kebingungan karena bagasi nya over size. Karna saya hanya membawa sebuah ransel, maka ada baiknya sedari pagi menolong orang. Saya tawarkan bagasi kosong saya kepadanya, beliau senang. Membuat orang kebingungan menjadi senang, itu sudah cukup bagi saya untuk memulai hari. Perasaan was-was masih saja menghantui, karna kata kawan di Nias sana, Merpati bisa saja merubah jadwal menjadi siang apabila penumpang tidak mencapai kuota. Maka memperhatikan counter check in baik baik adalah suatu cara. Setelah terlihat lebih dari 10 orang check in, saya merasa puas.

Jam telah menunjukkan waktu yang telah ditentukan. Hampir pukul 7 pagi, masuklah kami menuju bus shuttle ke pesawat. What? Tepat disamping Merpati MA60, jelas saya melihat bangkai pesawat yang naas. Merinding pastinya jika melihat itu semua. Mental tak boleh citu, apalagi hanya karna bangkai pesawat yang keriput. Sembari menikmati tangga masuk yang hanya ada di bagian belakang, pikiran melayang membayangkan MA60. MA60 merupakan singkatan dari Modern Ark yang berkapasitas 60 orang. Kenapa saya penasaran dengan pesawat ini? Selain kemarin dapat tiket murah, hal lainnya adalah pesawat MA60 merupakan perpaduan teknologi beberapa negara. Mesin berasal dari Kanada dengan parbrikan Pratt Whitney. Untuk baling baling produksi dari Hamilton, Amerika Serikat punya. Masih dari Amerika Serikat juga, APU (Auxiliary Power Unit) diproduksi oleh Honeywll, sedangkan flight instrument oleh Collins, begitu ujar Pilot sebelum terbang. Pastinya yang saya ingat, pesawat ini menggunakan karoseri Rusia. Karna mirip sekali dengan body Antonov yang biasanya menjadi angkutan militer. Betul yang saya pikirkan, MA60 ini pernah saya lihat di Banyuwangi. Selain di Banyuwangi, pesawat ini juga digunakan di Wakatobi, Poso dan Sumbawa. Bukan membanggakan pesawat mungil ini, akan tetapi ruang didalamnya cukup besar. Sehingga kita dapat duduk dengan santai. Jendela yang dibuat cukup besar, sehingga kita dapat melihat leluasa keluar. Saran saya, duduklah dibangku belakang atau minimal di bangku 12-13 agar pemandangan keluar tidak terlalu terhalang dengan mesin dan baling baling. Kabin yang luas dapat memudahkan kita untuk menyimpan barang bawaan. Satu lagi yang tidak dapat dilupa adalah, Merpati tetap memberikan snack dan minuman ringan kepada pelanggannya. Jadi tak perlu takut lapar karna budget pas pasan pemirsa :)






Landing juga di Gunung Sitoli. Menunggu semua pengguna jasa layanan turun, untuk mengambil foto kabin beserta seluruh kursi pesawat. Setelah memberi salam dan ucapan terimakasih kepada awak kabin kapal, bergegaslah menjejakkan kaki ke tanah Nias. Yahowu NIAS !!! Begitu ucapan salam yang lazim digunakan disini. Bandara ini tak terlalu besar, maklum hanya menjalankan penerbangan pesawat perintis. Keluar dari bandara sudah ada beberapa supir taksi (kendaraan pribadi) menawarkan jasa. Tidak sedikit dari mereka yang fasih berbahasa Inggris, mungkin karena keseharian berkawan dengan turis turis mancanegara. Sebenarnya ingin langsung ke Teluk Dalam, tetapi nanti tergantung kawan yang menjemput saja. Datanglah Mas Ebe Gilang, kawan sejak SMA di Bandung dulu. Ah dia bukan kawan, tetapi sudah menjadi saudara bagiku. Beberapa tahun selalu jalan bersama, bahkan makan dan tidur bersama. Hanya dunia kerja yang memisahkan kami. Akhirnya bisa mengunjungi beliau. Melajulah kendaraan roda empat yang dibawanya. Membelah lintasan jalanan Nias yang sangat baik. Jalanan baik pasca tsunami, dibangun dengan kerjasama pihak asing. Masih berdecak kagum dengan Nias. Tak habis pikir, bahwa ada tempat seindah ini di Indonesia. Rumah rumah adat masih ada disekitar jalan besar. Tidak sedikit juga yang mulai memodifikasi menjadi rumah modern, akan tetapi tetap beratapkan daun ijuk.



Sampailah kami di Kota Gunung Sitoli, berputar putar kota sejenak sembari membeli makan. Tak lupa ke Kantor Pos untuk mengirimkan surat yang harus dikirim. Saya lupa bahwa hari ini adalah hari Sabtu, sehingga aktifitas pendidikan masih berjalan sebagaimana biasanya. Perawakan orang Nias, sangat unik. Kulit kuning langsat, dengan bahasa lain yang jarang di dengar bila kita berada di kota lainnya di Sumatera Utara. Orang Nias ini cenderung seperti keturunan Thailand dan Mongol, mata sipit, badan tinggi, kulit kuning langsat, dan jika berbicara sangatlah cepat. Jika kita berkunjung kesini, jangan takut dengan konsumsi makanan. Karena di setiap warung makan tertera jelas apakah makanan ini halal atau non halal. Penginapan juga sangat mudah ditemui di Kota Gunung Sitoli. Di seputaran kota atau dermaga terdapat beberapa penginapan dengan kisaran harga dimulai dari 150ribu rupiah.




Ebe Gilang biasa kami panggil si Mas. Setelah membeli sarapan, kembalilah kami ke rumah Mas. Itung itung nginap gratisan. Sebuah kamar di belakang tempat beliau tinggal, meski kecil, tapi terlihat sangat nyaman. Lama tak menyambanginya, komik komik masih saja ada disana, dengan cemilan dan berbungkus bungkus rokok yang tergeletak. Setelah sarapan, istirahat sejenak, tidur melepas lelah. Menjelang siang kami berkumpul kembali, kali ini jumlah penumpang di mobil menjadi 7orang include supir. Semua teman teman si mas. Tujuan kami adalah melihat lobster dan menuju pantai Toreloto. Sebelumnya kami menikmati makan siang di sebuah rumah makan di tepi dermaga. Semakin nikmat makanan hangat yang dihidangkan bertemankan burung camar yang menari nari di atas dermaga apung Gunung Sitoli. Perjalanan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama kurang lebih 2 jam. Laju kendaraan sangat kencang, karena jalanan memang sepi. Sayangnya masih ada beberapa jembatan yang sudah tidak layak pakai. Andai saja baligo baligo pemilihan calon gubernur SUMUT ini dialihkan ke anggaran pembangunan jembatan, rasanya tak mengurangi esensi dari kampanye.










Kembali disuguhi rumah rumah adat Nias, ada yang bulat ada yang petak memanjang ke belakang. Unik memang, sayangnya segan saya meminta berhenti untuk sekedar berfoto ria. Mungkin nanti ketika kembali lagi kemari. Sampailah kami di lokasi, benar benar tersembunyi. Setelah melewati perkampungan maka masuklah kami di bibir pantai. Menyesal tadi meninggalkan peralatan snorkling di kamar. Padahal air laut sangat biru, pasti biota laut dibawah sangat indah. Karena kurang tidur dari semalam, jadi ragu untuk mandi di laut, takut nanti malah tumbang. Beberapa kawan si Mas mandi dan bercanda ria. Kami putuskan untuk naik sampan mengelilingi pantai ini. Lokasi ini sangat tenang karena ada karang pembatas yang sengaja dibangun pasca tsunami dulu sejauh 100 meter dari bibir pantai. Kembali kagumku kepada sang Khalik. Ada tempat yang sebegitu indah diciptakanNya. Bidikan mata tak pernah terhenti memaksa kamera terus mengabadikan tempat ini. Ketika kapal mulai melaju, terlihat dasar laut yang bening, dengan ikan ikan berlarian mengikuti arus. Sesekali terlihat beraneka ragam ikan yang berenang secara rombongan dan bersembunyi di balik akar bakau. Uniknya jika naik sampan ini adalah setiap orang dikenai biaya yang sama. Jadi tidak berdasarkan hitungan menyewa satu kapal. Setelah berada 50meter dari bibir pantai, pemandangan luar biasa benar benar terlihat. Betapa kecil pondok pondok istirahat itu terlihat. Burung Bangau asik terbang hilir mudik. Setelah hamir 10 menit berada di atas sampan, kami kembali ke pantai. Fasilitas di lokasi ini sudah masuk dalam kategori baik. Kamar mandi tersedia, air bersih dan tidak seperti kamar mandi di kebanyakan tempat wisata yang kumuh. Disini kamar mandi sangat terawat.

Menjelang sore kami beranjak ke Pantai Pasir Merah. Dapat ditempuh kurang lebih 30 menit dari sini. Jalan yang berliku naik turun turut memacu adrenalin. Seru memang apalagi di beberapa desa terlihat pemuda yang asyik main volley. Benar benar seperti berada di kampung sendiri. Sesekali bocah bocah melambaikan tangan. Suasana keakraban antara pengunjung dan penduduk lokal seperti terjalin secara natural. Tiba di Pantai Pasir Merah, hari mulai gelap. Tampaknya pasir berwarna merah ini dikarenakan pantulan sunset sore itu. Serta beberapa rumput laut yang menghidupkan suasana kemerahan di pantai ini. Karena hari mulai gelap, kami tak bisa berlama lama di lokasi ini. Sunset yang indah, deburan ombak, lengkap sudah senja Nias kali ini. Seakan tak ingin berpisah, suasana sangat syahdu. Satu hal yang menjadi kekurangan dari pantai ini adalah kurangnya fasilitas umum.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen