Skip to main content

Hari Apa Ini?

Ketika ada panggilan mendadak dan harus berangkat ke Banda Aceh untuk sebuah keperluan. Saya berpikir, wow Aceh, daerah yang belum pernah saya kunjungi. Teringat juga kepada rekening bank yang sudah saya tutup ketika lulus kuliah kemarin, terpaksa harus membuka rekening baru dan semoga dapat kucuran juga dari Om Gayus. Minggu pagi berangkatlah ke Bank Mandiri yang jalan Riau, g lama kok, cuma 10 menitan buku tabungan dan Kartu ATM nya selesai sudah. Langsung meluncur ke travel Bandung Jakarta di bilangan jalan Dipatiukur. Karena sudah ada janji dengan Dhani kawan dari Pemerintahan Unmul yang sedang penelitian di Batavia. Sebelumnya memang sudah booking kursi, tapi ditawarkan juga sama agen nya, "Mas mau berangkat sekarang jam 10 atau nanti jam 11?" Kuputuskan tetap naik yang jam 11. Sembari menunggu keberangkatan, kuberitahukan pada kawan kuliahku, agar beliau datang ke agen travel tersebut dan kami berbincang bincang sampai akhirnya harus meluncur ke Fatmawati Jakarta.

Ternyata waktu bersahabat, jalanan mendung, walau ber AC tetap gerah awalnya. Karena Bandung selalu macet di masa week end. Sekiranya 2 jam ke depan, sampai juga di pool Fatmawati. Karena saya buta Jakarta, akhirnya tanya sana tanya sini. Alhasil diketahui tempat yang dituju tidak jauh. Setelah nego dengan supir bajaj, dapatlah 7k sebagai ongkosnya. Dan ternyata saya ditipu, ternyata cuma 500an m saja jaraknya. Ibukota memang lebih kejam dari ibu tiri. Memang rumit juga mau bertemu si kawan, karena saling mencari. Setelah tergerus pulsa beberapa limit, barulah kami bertemu. Bicara ini bicara itu bicara tentang semua hingga larut menjelang. Malam itu saya bingung dari sana ke bandara besok pagi naik kendaraan apa. maka saya sms lah kawan kawan yang ada di Jakarta. Keesokan subuh nya, Dhani sudah bangun dan mengantar saya ke jalan besar. Naik Kopata menuju Blok M. Dari sana naik DAMRI yang ke bandara, 20ribu saja. Eh Bang Farid kawan lama dari Lampung nelp pagi itu, saya bilang sudah di DAMRI mau ke bandara, katanya maaf ya saya baru bales sms semalam.

Sesampainya di bandara, jadi teringat ketika dulu bersama kawan kawan mau berangkat ke Samarinda menjadi gembel di bandara. Tanpa ragu, duduk di lantai, langsung gelar posisi sambil makan roti. Santai saja tanpa beban. Menjelang kick off pesawat layaknya sepakbola, barulah masuk cek in ke dalam. Di ruang tunggu bertemu dengan Prof dari Ilmu Komunikasi Unhalu. jadi panjang bicara dah, terlebih sang suami ikut aktif diskusi ini itu. Dan ternyata Batavia Jakarta - Batam delay. Aku cuek saja, toh mau ke Banda Aceh. Ruang tunggu semakin memanas karena banyak penumpang dan pejabat yang terganggu jadwalnya karena terlambat berangkat. Teng, waktu sudah tepat jam  keberangkatan, tidak ada pemanggilan juga. Mampus saya, bakal kesorean sampai sana. Dengan sedikit kecewa lapor deh sama petugas, baru saja disuruh tunggu sabar, langsung ada pemanggilan. Tidak jadi delay, tapi dioper ke pintu lain. Jalan lagi dah, waktu tidak efektif. Tidak ada yang menarik selama penerbangan. Sampai akhirnya mendarat di POLONIA Medan, ya hanya transit.
Kali ini dapat snack lagi, baik ya Batavia (hahahaha). Duduk disampingku seorang ibu, "kalo pake celana pendek gini di Banda gpp kan bu?" dengan ketus ibu itu diam saja. Ah tidak bersahabat rupanya. Cuek sajalah pikirku. Setiba di Bandara, kagum saya melihat betapa besarnya Bandara ini sayang sepi. Sama lah besarnya dengan Sepinggan Balikpapan. Karena ponsel low, akhir nya ke kamar mandi dulu ngecas hp. Karena disana ada tempat charger hp. Tanya sana tanya sini, ternyata tidak ada angkutan ke kota. Harus naik taksi gelap dengan tarif dasar 70ribu rupiah. Wow mahal betul, dan sialnya hari hujan datang lebat. Terpaksa harus naik. Sesampainya di jalan Tengku Nyak Makam, laporan dulu ke kantor, ternyata tidak ada disediakan penginapan. Waduh repot lagi ternyata. Kebetulan di depan kantor ada Hotel Melati, cek in dan ternyata 125k semalam, dua bed, kipas angin, tv, dan toilet ada di luar satu lantai di bawahnya. Ada yang didalam 150k, tapi penuh Bang katanya. Ya mau tidak mau, ambil yang ada, dan ternyata cuma ada 14 kamar saja di hotel itu. Hahaha, kok namanya hotel? Tak apalah jadi orang kaya beberapa hari ini. Setelah mandi karena Aceh itu panas ternyata, barulah makan di kedai samping hotel. Dan jangan kaget, makan di sini sangatlah mahal, bisa sampai 20k atau bahkan 45k seperti yang saya alami. Jadi sebelum makan harus tanya tanya harga dulu.
Ada yang membuatku tenang sedikit, kawanku yang datang dari Bali ternyata sampai juga di Aceh dan mau sekamar denganku. ya biaya kamar pikul berdua. Hari pertama di Banda Aceh tak terlalu menarik, belum bisa kuikuti perkembangan hari disini. Sedih dan sedikit aneh juga, biasa di keramaian, ini berada ditempat yang rasanya ada jauh dari bumi. Ciri khas penduduk disini adalah berkumpul di warung kopi sampai larut, jadi jangan aneh kalau banyak kedai kopi bertebaran di Serambi Mekah.


Pagi tiba, dan aku terlalu cepat bangun. Ternyata disini semua dimulai ketika pukul 8 pagi karena matahari baru muncul jam 7. Indah mentari pagi ini kawan. Mampirlah ke kedai kopi belakang LAN Banda Aceh. Mie rebus, beberapa gorengan sampai teh susu hangatkan pagi yang sudah mulai gerah.
Hari ini kegiatan berjalan normal, dan tadi juga bertemu dengan Dody kawan dari alumni Pemerintahan UIR. Dia nginap sama kakak nya yang di Banda. Sore itu haruslah mencari ATM supaya pegang uang. Dengan menumpang ojek motor, sampailah ke ATM dan kembali ke hotel. 15 ribu, lumayan mahal padahal tidak sampai 3km kalau pulang pergi, ya seperti bolak balik dari makam Pahlawan ke lampu merah jalan Pahlawan Bandung lah. Tak apalah, sudah terjadi. Hari kedua berlalu dan masih kuingat aku bertelepon ria sampai malam dengan kawan kawan yang berangkat kegiatan di Makassar. Pagi, siang, berlalu, seperti yang kujanjikan kemarin, Tukang Ojek kemarin akan mengantarkan kami berdua keliling Banda Aceh. Dimulai dari Musium Tsunami, dan ternayata masih direnovasi. Jadi tidak boleh masuk. Ditawarkannya lah ke musium Kapal PLN yg terbawa tsunami ke darat. Wow menakjubkan, kapal sebesar ini ternyata menduduki sekitar 14 rumah yang masih ada dibawahnya sampai sekarang. Rata dibuat tanah tersebut. Naik lah ke atas anjungan kapal. Eksotis, seputaran Banda Aceh terlihat jelas dari sana. Angin yang bertiup kencang menumbuhkan aura sedang berada di atas bahtera. Tak lama memang, baru kami lanjut lagi ke Monumen Tsunami dan Monumen Pesawat pertama RI 01 di dekat RRI. Ternyata benar kata kakekku, Indonesia dulu tidak mampu beli pesawat, rakyat acehlah yang beli pertama guna keperluan Ir. Soekarno. Singgah sejenak menatap megahnya Masjid Raya, lanjut ke DPRD Banda Aceh. Suasana sepi disana, tak banyak yang ditemui. Bergeraklah ke kantor Gubernur NAD. Seperti biasa, tak lupa foto sana sini. Hari sudah sore, saatnya kembali ke Hotel. Ketika hari mulai gelap, pergilah kami ke Stadion Dimurtala yang minggu ini akan dipakai Persiraja berlaga melawan PSMS. Gelap, jadi tak enak foto foto.



Sekarang adalah hari Kamis, lupakan dulu sejenak kawan kawan di Makassar sana, tadinya saya mau flight Banda- Jakarta - Makassar, tetapi panitia telah memajukan jadwal entah kenapa. Jadi enggan kesana. Kamis setelah kegiatan selesai, cepat ternyata, hanya sampai jam 10. berarti bisa cek out dari hotel. Kalau bertahan terus menanti Minggu PSMS berlaga, kencang juga pengeluaran.

Kuputuskan meninggalkan temanku yang dari Bali, karena dia baru pulang hari sabtu. Begitu lah yang kulihat di tiket pulang perginya. berangkat lah ke Lhokseumawe, ada pamanku dsana. Sebelumnya mampir dulu ke Komisi Independent Pemilu menyelesaikan beberapa hal yang perlu diurus. Parahnya hari ini, Aceh mati lampu, banyak ATM yg tidak aktif. uang tinggal 100k. Ah pasti sampai. Lewat lah stadion terbesar di Banda, megah nya, sayang tak terpakai gumanku.

Di luar terminal telah menanti bis Banda - Medan. Setelah nego harga, 50k jadi ke Lhokseumawe. Padahal biasanya 60-70k kata pamanku. Haha, tak apalah. Tepat 5 jam sampailah di sana. Sebelumnya ada yang aneh mengusik pandangan mataku, ini bus AC tapi penumpang bebas merokok. Baru ada yg menjajakan martabak Aceh, setelah kubeli 4k, ternyata cuma telor didadar. Hahahaha, aneh memang.

Di Lhokseumawe, memang terasa benar aura jauh dari rumah, lalu lintas, gemerlap lampu malam. Hingga sampailah malam itu di rumah paman. Tepat di tepian pantai, jadi air bersih sangatlah susah disini, harus beli. Air yang mengalir berbau serangga malam.

Comments

  1. Wah lumayan juga cerita nya, kalo ada cerita yang lain juga dong bang.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen