Skip to main content

Pisang Goreng From Pontianak West Kalimantan

 


Pontianak, the capital city of West Kalimantan, Indonesia, is known for its rich cultural heritage and delicious food. One of the most popular snacks in Pontianak is pisang goreng (fried banana), which is a favorite among locals and tourists alike. The dish is made by deep-frying ripe bananas that are coated in batter, resulting in a crispy and sweet treat. Pisang goreng is often served with a variety of toppings, such as chocolate, cheese, or srikaya (a sweet coconut jam).

Fried banana is a popular snack commonly found in Indonesia, Malaysia, and Singapore. This dish is made from peeled bananas, which are then sliced according to preference and coated with a thick batter made from a mixture of flour, a pinch of salt, and sugar. Subsequently, the banana slices are deep-fried in hot oil. Fried bananas are typically served with various toppings such as chocolate, cheese, or sweet coconut jam.

Pontianak is also home to a vibrant Malay community, which has played a significant role in shaping the city's culture and history. The Malay people have a rich culinary tradition, and their dishes are known for their bold flavors and unique combinations of spices. Some of the most popular Malay dishes in Pontianak include nasi lemak (coconut rice with various side dishes), sate padang (beef satay with spicy sauce), and laksa (spicy noodle soup).

The city of Pontianak is steeped in history, and there are many landmarks and attractions that reflect its cultural heritage. One of the most famous landmarks in the city is the Equator Monument, which marks the spot where the equator passes through the island of Borneo. The monument is a popular tourist destination and is often visited by travelers who want to take a photo at the equator.

Pontianak is a city that is rich in culture, history, and culinary delights. Whether you're a foodie looking to sample some of the city's delicious snacks or a history buff interested in exploring its landmarks and attractions, there's something for everyone in this vibrant and fascinating city.

 

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen