Skip to main content

Goyang Lidah Rumah Makan Jenifer Calang

Jika kita berada di daerah pesisir maka seafood dan jenis makanan laut yang akan menjadi idola kuliner setempat. Tidak jauh berbeda dengan yang saya kunjungi kali ini. Hanya saja makanan non seafood menjadi ikon yang cukup menarik menurut saya. Jenifer begitulah papan nama yang saya baca di depan kedai makan sederhana ini. Tampilan depan memang kurang meyakinkan karena betapa sederhananya rumah makan ini. Ketika saya datang memang belum jam makan siang sehingga pengunjung tidak ramai. Lokasinya sangat strategis karena di tengah kota. Jika merasa sulit mencarinya, dari simpang tiga pinggir pantai Calang ke arah Mesjid Besar Calang. Bila mesjid belok ke kiri, maka letak rumah makan ini belok ke kanan setelah simpang tiga menuju Mesjid. Perlahan mulai tampak kehidupan di rumah makan ini. Sengaja saya minta makanan dihidangkan seperti makan di warung Minangkabau. Hanya ingin mengetahui bagaimana lidah saya menentukan yang pas dalam rasa. Aroma ikan bakar rasanya tak jauh berbeda dengan daerah pesisir lain.

Lidah saya merasa lain ketika mulai menikmati daun ubi santan kelapa. Rasa kelapa sangat kental terasa, bumbu yang digunakan benar benar meresap di daun kelapa tersebut. Pun demikian ketika saya menikmati ikan bandeng goreng. Sambal yang disajikan sangat pas dengan ikan goreng tersebut. Rasanya rumah makan Jesica cukup mengerti bagaimana selera lidah warga Aceh Jaya. Tidak melulu pedas, masakan asam juga disediakan disini. Selain masakan Minangkabau, masakan Aceh menurut saya juga dapat dikategorikan menjadi kuliner top Indonesia dari segi masakan asam. Biasanya jika mengkonsumsi masakan asam, lambung saya akan sangat cepat bereaksi. Tetapi kali ini tidak. Asam yang digunakan mungkin saja asam pilihan.


Ada juga masakan yang membuat saya penasaran. Masakan ini sejenis perkedel tetapi bukan. Bentuknya seperti gorengan. Setelah saya makan ternyata adalah telur dadar. Bentuknya sangat berbeda karena ada kelapa parut yang dimasukkan ke dalam adonan. Rasanya sungguh luar biasa. Tidak ada rasa amis dari telur yang ada. Rasa kelapa parut yang digoreng pun tidak mendominasi. Telur dadar parut kelapa ini menurut saya menjadi makanan idola saya di rumah makan ini. Lebih dari dua potong saya santap pada siang itu. Selain rasa yang nikmat, bentuknya memang cukup menggoda selera. Masih ada jenis masakan lain yang disajikan, tetapi rasanya sama dengan beberapa rumah makan yang saya temui di belahan Aceh lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen