Skip to main content

Masih Adakah Cibaduyut Itu?

 

Beberapa waktu yang lalu seorang kawan berkabar akan berkunjung ke Kota Bandung. Ya, Mas Bagus Ardian Ferdianto mengabarkan bahwa dirinya bersama rombongan rekan kerjanya akan mengunjungi beberapa lokasi wisata di Parisj Van Java. Cibaduyut menjadi salah satu destinasi yang akan mereka kunjungi. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk bertemu dengan beliau di sana. Dan akhirnya kesampaian juga bertemu juga dengan Mas Bagus disana. Cibaduyut adalah bagian tak terpisahkan dari pariwisata di Kota Bandung. Sehingga wajar jika salah satu lokasi yang wajib dikunjungi. Cibaduyut memang sejak dulu terkenal sebagai tempat para pengrajin sepatu lokal atau rumahan. Pertanyaannya, ditengah-tengah guncangan ekonomi yang dahsyat, Masih adakah Cibaduyut itu?

 

Saat itu saya tidak sempat melihat-lihat industri yang dibangun oleh perajin-perajin sepatu. Fokus pada temu kangen dan berbicara ringan dengan Mas Bagus dan keluarga. Kamis petang, 27 Oktober 2022 saya putuskan kembali menyambangi Cibaduyut. Sengaja ingin melihat kembali bagaimana keadaan sentra perajin sepatu ini dari dekat. Dari arah Buah Batu saya pacu sepeda motor menuju arah Terminal Bus Leuwipanjang. Setelah melihat ada flyover, saya mengambil jalur kiri dan tidak naik ke atas. Setelah mendapatkan perempatan lampu merah, sepeda motor saya arahkan untuk belok kiri. Tidak jauh dari sana mulailah terlihat berbaris rapih toko-toko yang menjual berbagai macam sepatu. Meski bentuknya terlihat seperti pertokoan yang padat, tetapi kawasan ini juga menyediakan area parkir khusus untuk mobil dan bus besar. Sehingga sangat cocok dikunjungi oleh rombongan.

Seorang perempuan berusia 30an tahun memanggil dan menawarkan sepatunya ketika saya melintas di depan tokonya. Tidak besar, toko ini mungkin berukuran 3x4 meter saja. Sepatu-sepatu ditata rapi di rak yang menempel sejajar dengan dinding toko. Jumlah tidak sampai ratusan. Hanya saja menarik terlihat karena disusun berdasarkan jenis dan kegunaannya. Uniknya di dalam toko ini, tidak terlihat ada dominasi sepatu. Jenis untuk laki-laki dan perempuan terlihat sama banyaknya. Bahkan sepatu dari bahan kulit terpisah barisannya dengan sepatu bahan kain. Layaknya toko sepatu di kebanyakan kota lainnya, kita dapat mencoba dan menawar harga. Jika disepakati, maka harga sepatu tersebut dapat berubah dari harga yang telah ditawarkan sebelumnya. Sehingga jangan sungkan untuk menawar harga dari sepatu yang kita inginkan. Pun jika tidak terjadi kesepakatan, maka batal membeli adalah sebuah kewajaran.

Sebuah sepatu akhirnya berhasil saya tebus dengan beberapa kali tawar menawar. Harga sepatu yang ditawarkan di Cibaduyut ini sangat terjangkau. Sebuah sepatu kulit ditawarkan dari harga 200ribu rupiah, sepatu olah raga ditawarkan dari harga 100ribu rupiah. Bahkan sandal kulit ditawarkan mulai dari harga 40ribu rupiah. Setelah membungkus sepatu tersebut, saya kembali berjalan menyusuri trotoar Cibaduyut. Para pekerja toko memanggil dan menawarkan dagangannya. Hingga pandangan mata tertuju pada sebuah sepatu di sudut toko. Bentuknya sangat mirip dengan sepatu kulit ternama yang muncul paska Perang Munich di tahun 1945. Saya akhirnya melihat dengan rinci, nyaris tidak ada perbedaan dengan sepatu aslinya. Secara kasat mata tidak akan terlihat jika sepatu ini adalah buatan lokal. Harga yang ditawarkan sangat terjangkau, 250ribu rupiah. Mungkin saja bisa lebih murah jika ditawar kembali.

 

Selanjutnya saya kembali menyambangi toko-toko lainnya. Ada beberapa ikat pinggang, tas, dan topi dari bahan kulit terpajang dari sebuah toko. Belakangan saya mengetahui bahwa nama toko tersebut adalah Toko Anisa Jaya Cibaduyut. Saya menyampaikan bentuk sepatu yang saya inginkan. Ternyata tidak tersedia di toko tersebut. Tetapi pemilik toko menawarkan untuk membuat sepatu tersebut dengan jangka waktu 1 minggu. Harga yang ditawarkan juga tetap terjangkau. Pemilik toko juga mengutarakan bahwa kita dapat memesan model dan jenis sepatu secara online. Pemilik toko mempunyai beberapa rekanan perajin toko di sekitar Cibaduyut. Pemilik Toko Anisa Jaya juga sering menawarkan sepatu-sepatunya melalui media sosial seperti Tik Tok untuk menjaring pasar yang lebih luas. Nama di Tik Toknya adalah Zahrani. Toko ini juga dapat dihubungi di nomor +62 858-7187-5677.

 
Toko Anisa Jaya

Berdasarkan diskusi dengan para pemilik toko dan tukang parkir, saya dapatkan informasi bahwa Industri Sepatu di Cibaduyut sudah ada sejak tahun 1920. Awalnya para pedagang sepatu ini merupakan para pekerja pabrik sepatu di Kota Bandung. Secara perlahan, beberapa pekerja mencoba membuka usaha dengan membuat dan memasarkan sendiri produk sepatunya. Akhirnya di era 1920an, muncullah industri sepatu rumahan di Cibaduyut. Beberapa pekerja pabrik mulai berhenti bekerja dan membuat sepatunya sendiri di rumah.

Cibaduyut sendiri bukanlah sebuah daerah yang tidak punya asal usul. Cibaduyut merupakan nama yang berasal dari kata Ci dan Baduyut. Dalam Bahasa Sunda, Ci atau sering disebut cai berarti air. Sementara Baduyut sendiri lebih cenderung disebut "areuy baduyut". Menurut Bahasa Sunda Areu Baduyut adalah sejenis tumbuhan di air dan merambat. Tanaman ini masih serumpun dengan melon, semangka atau labu siam. Dulunya tanaman ini sangat banyak di Cibaduyut dan sering dijadikan sebagai obat flu. Menurut cerita masyarakat di Cibaduyut, saat ini tumbuhan tersebut sudah sangat langka.

Saya sempat berpikir, ternyata Cibaduyut masih ada. Terlihat dari lalu lalang Bus Pariwisata yang berkunjung kesana. Tidak sedikit juga warga lokal yang datang untuk belanja sepatu Cibaduyut. Dan melihat eksistensi Cibaduyut secara ilmiah. Ternyata ada 956 artikel tentang Sepatu Cibaduyut yang terindeks di Google Schoolar. Bahkan pada tahun 2022 sendiri tercatat ada 82 artikel jurnal yang membahas tentang Sepatu Cibaduyut. 

Letak Cibaduyut tidak jauh dari Terminal Leuwipanjang. Bisa berjalan kaki sejauh 1km. Atau menggunakan angkutan kota Cibaduyut -Kebon Kalapa.

Saya sempat ditawarkan untuk berkunjung ke beberapa perajin sepatu. Letaknya di rumah-rumah warga tepat di sekitar pertokoan. Hanya saja waktu sudah tidak tepat. Matahari sudah menghilang digantikan gelapnya malam. Mungkin lain waktu kita berkunjung kesana.



Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen