Skip to main content

Makan Daging Kuda di Dolok Sanggul

"Sudah sampai dimana?"

"Siborong-Borong Bang"

"Tolong belikan daging kuda nanti di Dolok Sanggul ya"

"Oke Bang, beres" 

 
Lae Limbong dan Bapak Uda Lubuk Linggau

Mendengar percakapan antara Bapak dengan Bapak Uda (Adik Bapak dalam Silsilah Batak) melalui telepon adalah hal yang biasa. Bapak selalu menghubungi kerabat kami sepanjang waktunya. Jadi sangat lumrah jika mendengar Bapak sekedar menanyakan kabar dan keadaan keluarga kami lainnya. Tetapi sekali ini saya kaget dan heran mendengar Bapak memesan daging kuda. Seperti sangat awam dalam pikiran, seperti kali pertama makan daging rusa di Calang, Aceh Jaya. Terlebih karena kuda adalah hewan peliharaan yang jarang ditemukan di pasaran. Rasanya aneh jika harus menyembelih dan mengkonsumsi dagingnya. Dan ketika Bapak Uda yang berangkat dari Lubuk Linggau sudah tiba di Desa Aek Nauli, tanah kelahirannya, barulah saya percaya bahwa daging kuda itu benar adanya. Tapi keraguan itu masih ada, apakah layak daging kuda menjadi satu menu makanan. Setengah terheran melihat Bapak dan yang lainnya menyantap daging kuda dengan lahap.

 
Daging Kuda

Hingga akhirnya beberapa hari kemudian kami akan berkunjung ke Tarutung, 130km jaraknya dari Aek Nauli. Bapak dan Bapak Uda bersepakat untuk melintasi jalur Tele, berarti jalur ini akan melintasi Dolok Sanggul kemudian Siborong-Borong barulah Tarutung. Andai melintasi Prapat, maka melintasi Porsea dan langsung Siborong-Borong tanpa melewati Dolok Sanggul. Sudah dapat ditebak arahnya perjalanan seperti apa. Kendaraan yang kami gunakan melintas secara perlahan. Wajar saja, ini dilakukan untuk menjaga kondisi kesehatan Mamak. Toh sudah pelan, Mamak masih juga merasakan mual. Tapi ini sudah lebih baik ketimbang masa kecil saya dulu, Mamak selalu langganan keluar masuk rumah sakit. Laju kendaraan seperti sudah dipersiapkan, kami tiba di Dolok Sanggul tepat pukul 12 siang. Waktunya istirahat dan makan siang.

Sepintas Dolok Sanggul menyerupai daerah persinggahan para pedagang-pedagang jaman. Model kotanya seperti perlintasan, pertokoan berbaris rapih di sepanjang jalan. Memasuki pusat keramaian, jalur jalan raya terbagi menjadi dua. Terlihat beberapa kendaraan angkutan umum antar kota terparkir rapi. Bapak mengarahkan kami ke sebuah kedai nasi yang sebenarnya tidak menyerupai sebuah kedai nasi. Karena dari luar terlihat menyerupai toko kecil satu pintu. Ketika benar-benar berada di depannya, barulah yakin jika toko ini adalah kedai makan. Sebuah lemari kaca hadir menyapa setiap pengunjung yang datang. Di dalamnya terlihat beberapa jenis lauk-pauk di dalam wadah baskom besar. Ada ikan mas, susu kerbau, sayur mayur, dan tentunya daging kuda sebagai andalan. Benar-benar seperti kedai makan kenamaan, semua kursi dan meja penuh terisi pengunjung di jam makan ini. Kami menunggu nyaris 10 menit untuk mendapatkan meja dan bangku kosong. Terlihat dengan sigap para pekerjanya membersihkan meja dan melayani pengunjung yang datang. Tidak hanya makan di tempat, beberapa pelanggan lainnya terlihat lalu lalang membeli daging kuda untuk dibawa pulang.

Sebentar saja meja di depan kami sudah ramai dengan gelas-gelas, cuci tangan, air putih hangat. Kemudian dengan cepat pemilik kedai makan ini menanyakan menu makan yang akan kami pesan. Daging kuda tentunya menjadi pilihan untuk menepis gundah hari ini. Sebentar saja daging kuda dihidangkan bersama dengan kuah sup panas, dan nasi putih yang panas juga. Daging kuda ini diolah dengan metode rendang. Terlihat coklat tua menyerupai Kalio. Kenapa Kalio, karena tidak sepenuhnya kering seperti Rendang yang dimasak hingga 8 jam. Kalio ini seperti rendang setengah matang, sebenarnya matang sih, hanya saja sedikit berair dan basah. Rasa daging kuda ini lembut, bahkan lebih lembut dari daging sapi. Meski berserat, tetapi tidak sampai bersembunyi di sela-sela gigi. Rasanya sedikit manis dan tidak tercium aroma amis. Hebatnya ramuan yang digunakan menyerap sampai ke dalam pori-pori daging. Hingga rasa manis daging kuda ini membaur bersama rempah-rempah. Setelahnya badan menjadi lebih hangat. Sehingga timbul dalam pikiran bahwa masyarakat Dolok Sanggul mengkonsumsi kuda karena daerah ini merupakan daerah dengan iklim yang dingin.


 Foto dari Ito Mega Sinurat
 

Sebuah spanduk bertuliskan RM. Pribumi terpampang jelas di depan kedai makan ini. Pemiliknya menyatakan bahwa makan daging kuda merupakan tradisi masyarakat Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan. Mulanya masyarakat beternak kuda sebagai sarana tranportasi dan sebagai tenaga bantu di ladang pertanian. Hingga akhirnya diketahui bahwa daging kuda sangat empuk, lembut dan manis. Kuda-kuda yang dijadikan konsumsi masyarakat merupakan hewan ternak yang sudah cukup berumur atau masuk dalam kategori tua. Produktivitasnya sudah menurun dan tidak dapat dipertahankan lagi. Sayangnya saat ini peternakan kuda sudah berkurang di Dolok Sanggul. Sehingga kedai-kedai makan mendatangkan kuda dari daerah Takengon, Aceh. Bahkan ada kuda yang didatangkan dari daerah Sumatera Barat. 

 
susu kerbau
 

Daging kuda mempunyai banyak manfaat untuk kesehatan. Daging kuda dapat menambah stamina tubuh, mengobati penyakit rematik, menyembuhkan pegal linu, bahkan dapat menyembuhkan epilepsi. Anehnya lagi, daging kuda dapat menjaga kolesterol kita tetap stabil. Meski banyak manfaatnya, jumlah penjualan akhir-akhir ini menurun. Penikmat daging kuda tidak seramai beberapa tahun silam. Pengunjung hanya ramai pada saat jam makan siang saja. Pengunjung yang datang lebih banyak dari masyarakat yang melintasi Dolok Sanggul saja. Untuk harga satu porsi daging kuda ini sepertinya kisaran 25-40ribu rupiah per porsinya. Saya lupa menanyakan lebih detailnya saat itu. 

 
lokasi RM Pribumi di seberang Losmen Sabar
 

Setelah melangkah meninggalkan kedai makan ini, barulah tersadar jika ada kawan yang mempunyai usaha kopi dari Dolok Sanggul. Ah mungkin lain kali kita singgah ya. Kopi Dolok Sanggul kalian harus cobain nikmatnya kopi asli dari Dolok Sanggul.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen