Skip to main content

Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai (Thailand Part 2)

Setelah semalaman naik bus dari Kualalumpur ke Hatyai , akhirnya bisa kembali menikmati Thailand. Negara yang berbeda, kultur yang berbeda, banyak yang berbeda, bahasa juga tentunya. Tetapi banyaknya perbedaan membuat kita tidaklah menjadi asing disana. Toh masyarakat disana masih menerima keberadaan pengunjung yang mempunyai kemampuan berbahasa Inggris yang minim. Setelah mendapatkan simcard Thailand, pandangan mata saya layangkan ke seluruh penjuru mata angin. Sembari berorientasi menikmati pagi yang khidmat disana. Berjalan kaki melewati beberapa blok pertokoan. Terkadang baru tersadar kalau sepertinya kembali ke lokasi yang sudah pernah dilewati. Jika dulu untuk menghapal beberapa lokasi seperti di Banjar, kerap saya coreti tiang listrik dengan kapur berwarna putih. Setidaknya jadi tahu kalau sudah pernah melintasi jalan yang sama.


Hari ini sebenarnya belum ada tujuan yang pasti. Setidaknya kaki ini masih mau melangkah. Beberapa agen travel yang saya sambangi menyuguhkan tarif bus dan pesawat yang beragam dari Hatyai menuju Bangkok. Niatan dalam hati sebenarnya ingin sampai juga ke Thailand Utara. Tetapi dari beberapa harga yang ditawarkan, sepertinya kurang menarik. Hingga akhirnya diputuskan untuk menuju Stasiun Kereta Api Hatyai. Di depan bangunan terlihat tulisan Haadyai Station. Stasiun Hatyai tidaklah terlalu besar. Mungkin mirip-mirip stasiun kereta api di perlintasan Priangan Timur, seperti Banjar atau Ciamis. Barang bawaan kita diperiksa menggunakan x-ray. Setelah bertanya ke loket, diketahui bahwa sore ini ada kereta api dengan tujuan Bangkok. Tidak usah panik dan bingung akan permasalahan bahasa. Petugas loket menuliskan tarif dan kelas kereta pada secarik kertas. Maka saya tebuslah tiket kereta kelas 2 (second class) seharga 750 Baht.

Di kamar mandi stasiun ini juga akhirnya saya menumpang mandi dan bersih-bersih diri. Dengan membayar 10Baht saja kita diperkenankan mandi juga gosok gigi. Belakangan saya tahu tarif untuk buang air saja adalah sebesar 5 Baht saja. Badan kembali menjadi segar setelah mandi. Beberapa kedai makan di dalam stasiun tidak melahirkan sarapan untuk pagi ini. Maka saya putuskan untuk keluar dari stasiun. Di depan stasiun terlihat beberapa orang duduk di teras pertokoan menikmati secangkir kopi. Sepertinya menarik, maka saya putuskan bergabung kesana. Kursi-kursi plastik tersusun rapi dengan meja besar di depannya. Saya pesan secangkir kopi. Sialnya saya lupa berapa harganya, maklum sudah setahun silam. Kopi terlihat encer tetapi hitam pekat. Belum dibubuhi gula, pahitnya luar biasa. Untungnya ibu penjual menyediakan gula. Saya sempat menanyakan, mereka punya sarapan apa. Ternyata mereka punya sup. Setelah dihidangkan, barulah saya tahu bahwa ini adalah semangkuk bubur ayam. Tanpa kerupuk jadi tak bisa diaduk. Satu lagi pesanan saya disana, telur setengah matang.Saya bayar dengan selembar 100 Baht dan ternyata masih ada kembalian. Kurs yang saya dapatkan pagi ini nyaris 1 Baht mencapai 500 rupiah. Berarti sarapan pagi ini tidak mencapai 50 ribu rupiah.

Setelah menikmati sarapan pagi, datanglah seorang pengemudi angkutan umum menghampiri. Beliau bertanya saya hendak kemana. Saya sampaikan "just waiting train to Bangkok". Tapi setelah dipikir-pikir, jadwal keberangkatan kereta masih lama. Sekarang baru pukul 11 pagi, kereta berangkat pukul 17an. Jadilah saya lihat peta digital di telepon seluler saya. Melihat-lihat apa yang perlu disambangi. Mungkin saja ada yang menarik. Ternyata benar, saya temukan sebuah lokasi Patung Budha Tertidur. Akhirnya saya hampiri pengemudi tadi yang tengah duduk di dalam labi-labinya. Angkutan kota disini seperti labi labi. Ini adalah jenis kendaraan pick up, yang diberi atap di atas bak, kemudian diberi bangku panjang.
Angkutan Bapak Supir di Wihara

"I want go to this place" sembari menunjukkan gambar di HP.
"How much?" sambungku lagi.
"Only to this place?" jawabnya ramah
"Yah, you take me to this place, just wait me one hour and we go back to this station" balasku sekenanya. Semoga saja beliau mengerti.
Setengah berpikir, kemudian dikatakannya "two hundred and fifty"
"Baht?" tanyaku
"Ya Baht not Ringgit" jelasnya

"One hundred" tawarku sembari menunjukkan angka 100 di kalkulator HP.
"no no no, 200" balasnya sambil menunjukkan angka dua menggunakan jarinya.
"One hundred and twenty" jawabku menaikkan tawaran.
"One hundred and fifty, deal ok?"

Akhirnya saya terima tawaran itu. Sebenarnya lokasinya tidak terlalu jauh, berkisar 3km dari Stasiun Kereta. Tetapi hari ini terik sekali dan rasa malas kembali hadir. Dengan cepat kami sudah berada di lalu lalang lalu lintas Kota Hatyai. Aneh sekali karena beliau tidak meminta uang dimuka. Setengah terbata dan sama kesulitannya berbahasa seperti saya, beliau mencoba menjelaskan lokasi yang kami tuju. Uniknya kendaraannya ini adalah sudah mempunyai mesin pendingin. Jadi sejuk sepanjang perjalanan.

Setelah melintasi jalan raya yang besar, kami masuk ke dalam komplek perumahan. Jalan hanya bisa dilalui oleh dua kendaraan saja. Setelahnya kami memasuki gapura yang menjadi gerbang masuk bangunan. Tampak seperti kuil besar lengkap dengan asramanya. Saya tak mengerti apa yang dibicarakan Bapak Supir ini dengan penjaga gerbang. Intinya kami bisa masuk dan tidak mengeluarkan uang sepeserpun. Meskipun cuaca sedang terik-teriknya, lingkungan kuil ini sungguh sejuk dan asri. Banyak pohon-pohon besar terlihat di sepanjang jalan di halaman. Kemudian angkutan ini berhenti dan saya turun sembari membawa ransel yang ada. Bapak supir ini tersenyum dan menyarankan untuk meninggalkan tas di dalam mobil. Sebenarnya saya sempat ragu, tapi yasudahlah kalau memang dia jahat maka yang hilang hanya pakaian dan Randang Paku yang saya bawa dari Indonesia.


"Wait me Sir, only 1 hour"
"Nevermind, for you, free time no charge"

Ah jadi semakin ragu sebenarnya melihat gelagat Bapak Supir ini. Tapi sudahlah tak usah dipikir kali. Dari jauh terlihat bangunan besar yang menaungi Patung Budha yang sedang tidur. Tetapi sebelum kesana, saya lihat di bagian kiri terdapat bangunan dan terlihat beberapa orang sedang melakukan ibadah. Saya hampiri seorang Biksu yang sedang membersihkan halaman serta mengutarakan maksud hendak mengambil foto dan dokumentasi saja. Kemudian Biksu tersebut menyampaikan beberapa aturan disana. Dilarang menggunakan alas kaki untuk memasuk wilayah Patung Budha, dilarang mencoret-coret dinding, dilarang merusak bangunan dan dilarang mengganggu orang lain yang sedang beribadah. Beliau juga menjelaskan tidak ada biaya yang harus dikeluarkan jika datang kemari. Hanya saja mereka menyediakan peralatan ibadah seperti dupa dan sejenisnya. Biksu tersebut juga menunjukkan kantin di belakang patung Budha. Pengelolaan bangunan di Wat Hat Yai Nai mendapatkan dukungan dari Pemerintah Thailand dan juga para donatur dari berbagai mancanegara sambung Biksu tersebut.

Mengingat waktu yang saya punya tidak terlalu banyak maka saya langsung menuju bangunan utama tempat dimana patung Budha tidur. Sendal jepit merk Swallow saya tanggalkan tepat di depan pintu masuk. Dan ternyata lantai mulai terasa panas. Sehingga setengah berjinjit saya langkahkan kaki menuju tempat teduh. Sempat terkagum melihat patung yang sangat besar ini. Sengaja saya berjalan dari ujung ke ujung untuk mengetahui berapa panjang patung Budha ini. Ternyata berada di kisaran 30-35 meter panjangnya. Pasti sangat sulit untuk membuatnya.

Saya pernah dengan bahwa Wat dalam Bahasa Thailand berarti Kuil atau Wihara. Jadi dapat saya cerna bahwa lokasi ini adalah Wihara Hat Yai Na. Patung Budha Tidur ini merupakan yang terbesar ketiga di Thailand. Berarti masih ada Patung Budha Tidur lainnya di wilayah lain Thailand. Beruntung siang ini karena di area patung tidak ada pengunjung lain. Sehingga saya dengan bebas menikmati suasana siang ini. Meski terawat, tidak sepenuhnya bangunan ini terlihat bersih. Beberapa kotoran burung menghiasi dinding yang sekaligus menjadi pagar Patung Budha Tidur ini. Tetapi masih dalam kategori yang normatif. Kita tidak perlu merasa risih karena tidak akan mengenai bagian tubuh pengunjung. Patung ini mempunyai tinggi 15 meter dengan lebar sepanjang 10 meter. Patung diletakkan diatas singgasana yang melebihi panjang patung. Sehingga kita akan sangat kesulitan untuk menjangkau patung tersebut.

Pelataran yang dijadikan alas patung pun menjadi perhatian saya kali ini. Dindingnya mempunyai ukiran yang menarik. Pasti sangat sulit untuk mengukir dinding-dinding ini. Dibutuhkan banyak tenaga untuk menyelesaikannya. Saya sarankan untuk tidak menyentuh dinding ukiran karena akan meninggalkan bekas jika tangan kita tidak benar - benar bersih. Di bagian atas pelataran ini terdapat rantai besi yang menjadi pagar pelindung dari patung. Di bagian ujung sisi lainnya terlihat telapak kaki Budha yang sangat besar. Sayangnya kita hanya bisa mengitari patung pada bagian depan saja. Ketika saya coba untuk berputar ke belakang, maka akan menemui kantin yang dimaksud tadi.

Tepat di bagian wajah Patung Budha, terlihat rangkaian bunga dan beberapa gambar. Sepertinya ini adalah tempat para pengunjung yang akan sembahyang. Sebuah altar kecil tersedia disana, bersandingkan tempat pengunjung menyematkan dupa. Di sisi lain bagian kepala, terlihat pilar pilar besar menopang atap. Jadi kurang indah sebenarnya karena seperti menghalangi gambar patung secara keseluruhan. Tapi tak apa, toh bagian wajah dapat terpotret penuh. Pada bagian belakang patung terdapat ruangan kecil. Tersusun kursi yang mengelilingi meja bundar. Sepertinya ini adalah kantin yang dimaksud tadi. Tetapi saya urungkan masuk karena sangat sepi. Belum lagi saya kembali ke bagian depan bangunan, terdengar orang yang datang hendak sembahyang. Saya urai senyum persahabatan kepada pengunjung tersebut sembari melangkah mengambil sendal. Berdasarkan penuturan Bapak Supir, kuil ini juga merupakan tempat persemayaman abu jenazah. Maka tak heran jika kuil ini selalu dikunjungi oleh masyarakat.

Di sudut lainnya, terdapat sebuah bangunan kecil. Mungkin ukuran 10 kali 10 meter. Bangunan ini juga merupakan tempat ibadah masyarakat yang beragama Budha. Kita harus melewati beberapa anak tangga untuk masuk ke dalamnya. Seperti wihara kebanyakan, di dalam akan terlihat beberapa patung dan gambar-gambar. Di bagian sudut terlihat ada kotak amal. Berhubung masuk ke wilayah ini tidak dikenai biaya, tiada salahnya untuk sedikit memberikan sumbangan sebagai partisipasi bahwa kita turut mendukung kelangsungan bangunan ini.

Kemudian saya kembali menghampiri Bapak Supir tadi. Dia sempat heran karena belum lagi sampai 1 jam tetapi saya sudah kembali. Tak apa ujarku, kita kembali ke stasiun saja karena saya lapar. Dalam perjalanan dia menanyakan apakah saya melihat jenasah biksu yang dikeringkan. Ternyata saya kurang beruntung karena kurang memperhatikan. Ada jenasah biksu pendiri Wat Hat Yai Nai yang sengaja diabadikan di wihara ini. Sehingga saya baru tersadar jika sebenarnya yang saya kunjungi adalah tempat pemakaman abu jenazah yang sekaligus menjadi wihara.

Sejuk semilir angin dari pendingin mobil mengiringi siang itu bersama lagu Thailand yang keluar dari radio mobil. Jika kelak kembali kesana, saya pastikan untuk dapat melihat cerita dari Bapak Supir ini.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen