Skip to main content

Lombok, Last Trip 2012 (part 4)



Jerowaru merupakan sebuah desa di Lombok Timur. Kami tempuh dengan perjalanan kurang lebih 2 jam. Apa menariknya Jerowaru? Mungkin saja saya tidak tahu. Tetapi daerah ini merupakan penghasil lobster dan kerapu. Maka dari itu Jerowaru memiliki dermaga yang lumayan besar. Meski jarang masuk kapal besar. Untuk mengganjal perut, maka roti dan makanan ringan adalah solusinya. Hampir memasuki lokasi Jerowaru, jalanan menyempit. Berbeda jauh dengan lintasan selama di kota tadi. Mungkin karena malam maka gelap adalah teman dari perjalanan. Nyaris pukul 9 malam waktu Jerowaru kami tiba disana. Tak lama hidangan khas Sasak sudah kembali di depan mata.
Tanpa cuci kaki dan mandi lahap tak terperi habis sudah makanan makanan ini. Tentunya sesuai adat Sasak, yang tua terlebih dahulu. Sehabis makan tak lupa minum kopi. Lelah tak kunjung datang meski mata telah meminta. Selepas mandi kami menuju dermaga yang diceritakan tadi. Pemuda kampung setempat sudah lama menanti. Memang demikian adat kampung ini. Setiap ada tamu yang datang, selalu diajak bersilaturahmi sembari menikmati minuman khas setempat dan beberapa bungkus kacang. Minuman ini semacam nira yang masih manis, jika tak suka bisa dicampur dengan sedikit bubuk kopi. Tidaklah memabukan, cocok jadi teman untuk melepas malam. Satu lagi yang menjadi ingatan adalah “kesah”. Para pemuda dan orang tua di Jerowaru dan Lombok kebanyakan pandai ber-kesah. Kesah merupakan cerita cerita lucu jenaka untuk menghibur orang lain. Tak jarang gelak tawa pecah memecah kesunyian malam. Indah memang berada di tengah tengah mereka. Tak ada perbedaan status sosial disini. Tak ada keluh kesah, semua bergembira nikmati canda tawa. Sembari memainkan gitar, adalah Bang Heri yang baru saja pulang dari Korea menambah erosi malam. Lelucon yang dikeluarkannya semacam kesah andalan kampung ini. Padahal lebih cadas lagi kalau Amak Jali (kawan yang turut serta dari Jogja) turut serta. Sayangnya beliau pergi ke rumah keluarga. Perbekalan habis memaksa kami kembali kerumah. Belum lagi sampai rumah, Bang Heri mengajak kami duduk menikmati malam di simpang tiga Jerowaru. Tepat di depan sebuah pasar yang baru saja diresmikan. Dulunya pasar ini hidup enggan mati pun tak mau. Tetapi setelah ada pengembangan, barulah tampak bagaimana tegaknya sebuah pasar tradisional. Amak Jali rupanya hadir ditengah tengah kami. Hanya saja malam ini tak ada kesah dari nya. Entah mengapa tiba tiba beliau bercerita, semenjak ada pasar nama daerah ini berubah menjadi JOR, bukan lagi Jerowaru. Iya JOR, Jalan Orang Ramai. Sontak saja gelak tawa memecah keheningan malam. Sembari melepas rindu, kawan kawan berbicara dengan malam yang sendu. Malam cepat berlalu memaksa kami lekas merapat ke pintu. Sebelum lelap benar benar datang, mie rebus udang temani malam.

Pagi sepertinya cepat sekali datang. Baru saja beberapa jam yang lalu mata terlelap. Selepas mandi kembali menikmati hidangan ala Sasak. Pagi ini tampaknya makanan super berat. Ada sayur, ikan, udang, sambal juga tentunya. Nikmat temani nasi yang masih hangat. Dengan lahap sebentar saja mangkuk dan bakul dari anyaman bambu itu langsung kosong. Tidur telah membuat kami kelaparan tampaknya. Setelah segelas kopi habis maka saatnya untuk menikmati sisi lain dari Jerowaru. Kendaraan dipacu menuju Tanjung Ringgit. Inilah daerah yang diceritakan masih jauh dari sentuhan jaman. Tak lama berpacu diatas aspal, jalan berkerikil telah menyambut. What??? Ternyata kami masuk ke areal pedalaman tanpa aspal dan listrik. Sesekali genangan air memperlambat perjalanan kami. Setahun yang lalu jalanan ini masih sepi, tetapi sekarang sudah banyak yang datang kemari, ujar Jali datar. Pantai Pink begitulah mereka menyebutnya. Sebuah pantai yang indah pasirnya berwarna merah jambu dikala matahari pagi naik dari ufuk timur. Di depan pandangan mata Rinjani katanya, sedang pantai yang menyerupai huruf U itu sendiri bertemankan beberapa pulau kecil di depannya.

Kemudian kendaraan berhenti di sebuah warung kecil. Ada beberapa rumah dari bilik bamboo dengan rumbai jadi atapnya. Benar benar masih tradisional sekali. Belasan ekor ayam sibuk berlarian. Sementara sapi sapi melenguh santai dalam kandangnya. Ternyata kami mampir ke rumah Paman nya Jali. Turut serta juga tadi dalam rombongan anak dari Paman. Sengaja saya sekolahkan di Jerowaru karena disini sekolah tak menentu ujarnya pelan. Disana kan lebih maju, sehingga pola pikir anak bisa lebih terpacu. Lagi lagi segelas kopi langsung tersedia di depan pandangan mata. Sembari bercerita, sebuah gubuk kecil semacam pos ronda menemaninya. Pepohonan yang rimbun juga anggun turun menghalau sinar mentari yang turun. Nyaman memang berada di daerah ini, sayangnya air bersih masih sangat sulit didapatkan. Pemerintah masih mengupayakan air bersih dengan cara mengirimnya, kemudian ditampung di tangki tangki besar. Satu kemajuan di desa ini adalah solar system. Pemancar yang dipasang untuk menampung tenaga surya. Sehingga alat alat elektronik dapat digunakan disini. Miris memang mendengarnya. Tak lama berselang melajulah kendaraan ke arah Tanjung Ringgit. Tampak beberapa kendaraan dinas yang digunakan untuk berwisata atau saja digunakan untuk pura pura bekerja atau memang mungkin nanti di Tanjung Ringgit lokasi mereka bekerja, entahlah. Jarak rumah yang satu dengan yang lainnya sangatlah jauh. Bisa sampai 500meter. Sangat sulit ternyata untuk bertetangga. Tak lama berselang, kami dikejutkan dengan sekawanan orang hutan yang asyik mencibir dari rindang pepohonan. Tampaknya mereka belum tahu kalau rasanya dilempar pisang ya. Jadi kalau nantinya kalian singgah kemari, janganlah lupa untuk membawa pisang. Ingat pisang beli ya, jangan mencuri. Tak kurang dari 20menit perjalanan sampailah kami di areal yang ramai kendaraan parkir. Setelah membayar retribusi 5ribu rupiah perjalanan kami lanjutkan. Loh mau kemana kita, bukankah pantai itu dibawah sana? Ternyata tak sampai 5 menit kami sampai di sebuah lokasi gedung milik pemerintah. Dengan sebuah mercusuar sebagai temannya. Rupanya ini gedung menara suar milik Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Distrik Navigasi Klas II Benoa. Tepatnya Instalasi Menara Suar Tanjung Ringgit DSI - 4198. Sebenarnya kendaraan bisa dibawa masuk lebih dalam, tapi kasian mesinnya. Jadilah kami berjalan kaki ke dalam. Tak jauh 100meter kagum mata kami memandang samudra luas. Beberapa lapisan laut yang berwarna biru muda sampai ke biru yang paling tua jelas terlihat disana. Ibarat lapangan sepakbola yang dimodifikasi sedemikian rupa. Indah memang melihat pusara pusara air itu akrab di bawah jurang sana. Cuaca terik tak mengecilkan niat kami untuk terus berjalan. Satu lagi yang membuat kami terkejut adalah kami berdiri di atas tebing. Jika melihat dari sisi lainnya sangatlah indah. Keindahan yang menyeramkan. Karena bila jatuh, nyawa jadi taruhan. Ingin rasanya turun ke dasar palung menikmati kesejukan pantai. Tapi apa daya, jalan tiada. Cukup mengagumi saja tebing tebing indah dari atas sana. Sungguh menyesal kalian jika ke Lombok tak singgah ke Tanjung Ringgit. Satu keanehan di depan mata. Hanya ada sebatang pohon yang tegak berdiri di tepi jurang. Ada yang mengatakannya sebagai pohon surga. Dimana terik mendera, pohon ini bisa jadi payung yang meneduhkan. Tak jauh dari pohon tersebut terdapat meriam Jepang yang kurang terurus. Jepang sangatlah tepat meletakkan meriam ini disini. Pandangan mata begitu luas memandang samudera. Jika musuh tiba, sangatlah mudah menghalau dari atas sana. Seperti kebanyakan orang lainnya mengabadikan diri bersama meriam ini adalah lumrah. Kembali menyusuri jalan setapak ke arah bidang ujung lainnya. Ternyata tak jauh dari meriam tadi terdapat sebuah goa yang menjorok ke dalam tanah. Semacam lubang besar yang mengarah ke dasar tanah. Ingin rasanya turun ke dasar sana. Apa daya tenaga hanya menghantarkan sampai ke titik tengah goa tersebut. Beberapa kawan yang sampai ke dasar mengatakan di dalam bau wallet. Tak lama disana karena dengan tiba tiba ada rombongan lainnya dalam jumlah banyak tiba. Sejenak menikmati samudera mata tak lelah menatap Nusa Tenggara di seberang sana. Ada rayuan menyeberang kemana, apa daya waktu yang tersisa tak mengijinkan pemirsa. Dengan langkah gontai dan layu kembali ke tempat memarkirkan kendaraan tadi. Rasanya ingin berlama lama disini. Pasti seru jika bisa menginap barang semalam di tanah ini. Menikmati rayuan angin, deburan ombak, bisikan rumput rumput kecil. Turut serta dalam rombongan tadi Bang Heri, sembari berkelakar membuat letih sirna. Tak lama kami sudah berada di lokasi parkir awal tadi. Setelah memarkirkan kendaraan, kami menuruni tebing. Sudah ada jalan masuk rupanya. Tampak dari atas belasan mobil terparkir di bibir pantai. Indah pantai pink ini. Entah apapun namanya, jujur saya mengagumi keindahan letaknya. Pasir yang putih, ombak yang kecil menambah kemesraan kami siang ini. Ternyata banyak orang yang sudah lebih dulu datang kemari. Bahkan dalam kategori rombongan. Tentunya sudah ada pedagan makanan minuman di pantai ini. Hanya saja tidak ada fasilitas lainnya. Hanya ada penyedia jasa layanan keliling pantai dengan sampan. Dengan 50ribu saja kita dapat menaiki sampan untuk mencapai pulau kecil yang berjarak kira kira 1 mil dari bibir pantai. Jika kalian ingin memancing dapat berjalan ke ujung pantai sebelah kanan karena ada tebing disana. Juga telah dibangun pondokan untuk berteduh. Ternyata Paman sudah berada disini. Anak paman langsung mandi menikmati hari. Sedang kami berkelakar sembari ditemani segelas kopi. Aih indahnya hari ini. Hampir sejam lamanya kami menikmati pantai indah ini. Sayangnya gunung kebanggaan masyarakat Lombok tertutupi awan. Jika cuaca cerah, Rinjani terlihat indah dari sini. Sebenarnya paman mengajak kami untuk menginap barang semalam di pantai ini. Tetapi apa daya waktu memaksa segera. Dengan menumpang mobil paman bak terbuka, naiklah kami menapaki tebing yang curam ini. Setiap kendaraan hanya berani naik satu persatu. Tampak di depan sana ada kendaraan yang terbatuk batuk dipaksa menapaki jalan. Ngeri ngeri sedap begitu kami mengatakannya. Dengan sedikit berasap sampailah kami di tempat parkir di atas sana. Alih-alih menikmati waktu, saya tak turun dari bak belakang. Turut serta dengan paman kembali kerumah. Rido dan Eko serta anak Paman ada bersama di bak belakang ini. Kawan lainnya berada di mobil plat F yang kami sewa sejak kemarin. Sembari menikmati jalan yang kurang baik, sesekali kamera hp yang ala kadarnya ini turut mengabadikan perjalanan hari ini.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen