Skip to main content

Posts

Guesthouse Bu Ade Sabang Feel Like Home

Feel like home to me Feels like I'm all the way back where I belong  Sepenggal lirik Feel Like Home milik Chantal Jennifer Kreviazuk terdengar jelas di telinga. Lagu ini terdengar lembut dari pengeras suara yang tersemat di telinga. Tetapi harus segera berhenti mendengarkan lagu ini setelah van jemputan kami tiba di penginapan. Dari luar tidak tampak bahwa bangunan di hadapan mata adalah sebuah penginapan. Lahar parkir tidak luas, hanya bisa menampung 2 unit kendaraan roda empat dan beberapa unit sepeda motor saja. Beberapa pot bunga tertata rapih di sudut halaman. Dibatasi dengan jaring jaring jala nelayan. Sepertinya menghindari adanya gangguan dari ternak yang melintas. Sepintas saja memang lagi lagi tidak terlihat bangunan ini seperti penginapan. Halaman kecil di depan bangunan yang menyerupai rumah ini tidak mempunyai pagar pembatas dengan jalan raya. Tetapi dapat saya yakinkan kepada kalian bahwa bangunan ini adalah sebuah penginapan di Pusat Kota Sabang.  Tepat di bagian de

Meugang Sebuah Tradisi Unik di Aceh

Pagi ini Kota Banda Aceh sangat sepi. Tidak terlihat lalu lalang masyarakat yang beraktifitas. Hanya terlihat beberapa kedai kelontong saja yang masih buka. Warung kopi tentu saja sudah tutup sejak subuh tadi. Kondisi ini bukan hanya karena sedang berada di bulan puasa. Tetapi hari ini adalah 1 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442H. Menjelang hari raya Kota Banda Aceh memang cenderung lebih sepi dikarenakan sebagian penduduknya  sudah pulang kampung, membersihkan makam keluarga, dan menyiapkan kebutuhan Idul Fitri.   Tetapi ada yang unik di tepi trotoar dan di depan pertokoan yang sudah tutup. Terlihat daging sapi yang masih segar tergantung berbaris rapi dari satu lapak dan lapak lainnya. Lapak-lapak penjualan seperti berpindah secara masal dari pasar daging ke tengah-tengah pemukiman masyarakat. Daging yang digantung masih berukuran sangat besar sekali. Terlihat para penjualnya dengan mahir menyayat daging menjadi irisan beberapa potong. Tentu saja daging ini masih sangat segar k

Menikmati Mie Aceh Lobster di Tepi Pantai Rigaih Calang Aceh Jaya

Belum lagi jauh kami meninggalkan pusat Kota Calang di Kabupaten Aceh Jaya, kendaraan roda empat yang kami naiki menepi. Bang Mukhlis yang mengemudikan kendaraan ini diminta untuk menunggu sebentar. Tempat pertama yang kami sambangi ternyata tidak mempunyai stok lobster yang cukup untuk kami. Wajar saja karena kami tidak datang di akhir pekan sehingga lobster yang disediakan sangat terbatas. Usut punya usut, jumlah pengunjung ke pantai-pantai di Calang ini lebih ramai di akhir pekan. Pemilik kedai yang kami sambangi ini menyarankan untuk menuju kedai yang tak jauh dari sana, kira kira 200meter jaraknya. Kami diarahkan menuju tepian Teluk Rigaih. Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Benar saja, tak jauh dari kedai pertama tadi terlihat sebuah kedai yang terlihat mencolok di tepi laut. Ada bangunan yang lebih besar dari kedai-kedai di sekitarnya. Ada bangunan yang berdiri kokoh di tepi laut tempat pengunjung bersantai ria. Sebuah gerobak masakan terlihat di bagian depan bangunan

10 Alasan Naik Bus ke Banda Aceh

Ada beragam alasan yang menjadikan Banda Aceh menjadi salah satu destinasi impian para pecinta bus di Indonesia. Beberapa kawan yang tiba di Banda Aceh bercerita bahwa mereka penasaran dengan Terminal yang berisikan chasis premium, ada yang rindu kulinernya, hingga ada yang ingin piknik ke Nol Kilometer di Pulau Weh, Kota Sabang. Berikut ini akan saya sarikan 10 alasan kenapa harus naik bus ke Banda Aceh.  1. Paling Ujung Barat Indonesia Secara geografis, Terminal Bus Batoh Banda Aceh berada di ujung paling barat Indonesia. Hal ini menandakan bahwa Terminal Bus Batoh menjadi terminal bus terakhir di wilayah barat. Belum ada rute bus lanjutan selain Medan - Banda Aceh dari Terminal Bus Batoh ini.

Ayutthaya, Segenggam Bagan di Thailand (Thailand Part 6)

Siang itu terik seakan menghilang setelah bayang bayang pohon rindang menaungi teras depan pos penjaga. Begini sulitnya memang kalau kurang pandai berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Padahal petugas penjaga pintu masuk Wat Phra Si Sanphet telah bertanya dengan jelas. Dasar saya memang tak paham Bahasa Inggris. Untungnya tangannya mengarahkan pos petugas wisata di dekat pintu masuk. Petugas lain menjelaskan bahwa setelah membayar tiket masuk, pengunjung diperkenankan mengelilingi beberapa lokasi di Ayutthaya. Semua destinasi tertera dalam sebuah map yang dibagikan secara gratis. Beruntungnya pelancong yang berkunjung kemari. Andai semua daerah wisata di Indonesia punya peta wisata dan dibagikan secara gratis di bandara atau terminal bus. Untuk masuk ke Wat Phra Si Sanphet kita sebagai turis asing harus merogoh kocek sebesar 50 Baht. Sedangkan untuk turis domestik dikenai tarif sebesar 10Baht.    Wat Phra Si Sanphet

Phra Mongkhon Bophit Kediaman Patung Perunggu Budha Terbesar Di Thailand (Thailand Part 5)

Setibanya di Ayutthaya abang ojek mengantarkanku ke What Maha That. Cuaca siang itu sangat terik sekali. Meski berada jauh dari Bangkok, tetapi panasnya suhu udara tak jauh beda. Dengan kecepatan santai kendaraan roda dua yang saya naiki mulai membaur dengan lalu lintas Ayutthaya. Meski tidak terlalu ramai hiruk pikuk kendaraan, abang ojek itu tetap saja memacu pelan. Beberapa bangunan berbentuk rumah toko terlihat membentengi jalan raya. Bukan Thailand namanya jika disepanjang jalan tidak terdapat trotoar dan pedestrian. Andai siang itu tidak terlalu terik, pasti menyenangkan berjalan kaki disana. Menikmati taman-taman dengan kolam air di tengahnya. Atau sekaligus menikmati bus-bus dengan karoseri yang unik khas Negeri Gajah Putih. Belum lama lagi menyusuri jalan raya, terlihat dari arah berlawanan seekor gajah terlihat berjalan dengan membawa manusia di atas punggungnya. Sepertinya ini adalah gajah wisata karena terlihat ada tenda yang memayungi penunggangnya. Entah harus senang ata

Semerbak Pagi Phon Kirana Kopi Medan

  Setelah turun dari bus, kusempatkan mandi pagi di kamar mandi yang tersedia di bagian belakang loket bus di bilangan Jalan Ring Road. Jalan ini juga lebih familiar dengan nama Jalan Gagak Hitam. Udara Kota Medan pagi itu masih terasa sejuk. Lalu lalang kendaraan mulai menghiasi jalanan, sementara matahari masih belum terlihat keberadaannya. Jika berada di Banda Aceh, tentunya tak akan kesulitan mencari kedai kopi yang sudah buka sepagi ini. Bus yang saya naiki semalam meninggalkan kota demi kota dengan cepat dan lugas. Wajar saja jika jarak tempuh 600an kilometer ini dilibasnya dalam 10jam saja. Tinggal beberapa waktu di Bumi Serambi Mekkah membuat lidah ini seperti dimanja, terlalu suka pilih-pilih kopi yang bercita rasa makna. Bahkan tak jarang bibir ini lirih berbisik "kopinya kurang terasa". Kurang dari beberapa menit, ojek online telah membawa pagi ini membaur dengan hiruk pikuk ibukota Sumatera Utara. Masih pagi sekali, sehingga tak terasa sudah tiba di tempat yang di