Skip to main content

Ayutthaya, Segenggam Bagan di Thailand (Thailand Part 6)

Siang itu terik seakan menghilang setelah bayang bayang pohon rindang menaungi teras depan pos penjaga. Begini sulitnya memang kalau kurang pandai berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Padahal petugas penjaga pintu masuk Wat Phra Si Sanphet telah bertanya dengan jelas. Dasar saya memang tak paham Bahasa Inggris. Untungnya tangannya mengarahkan pos petugas wisata di dekat pintu masuk. Petugas lain menjelaskan bahwa setelah membayar tiket masuk, pengunjung diperkenankan mengelilingi beberapa lokasi di Ayutthaya. Semua destinasi tertera dalam sebuah map yang dibagikan secara gratis. Beruntungnya pelancong yang berkunjung kemari. Andai semua daerah wisata di Indonesia punya peta wisata dan dibagikan secara gratis di bandara atau terminal bus. Untuk masuk ke Wat Phra Si Sanphet kita sebagai turis asing harus merogoh kocek sebesar 50 Baht. Sedangkan untuk turis domestik dikenai tarif sebesar 10Baht. 

 
Wat Phra Si Sanphet

Baru beberapa langkah saja dari pintu masuk, suasana Bagan, Myanmar seperti hadir disini. Puing-puing kuil dan candi tersebar di seluruh pandangan mata. Kemudian saya bingung harus berjalan ke kiri atau ke kanan. Karena ada jalur pedestrian yang sengaja digelar mengelilingi Wat Phra Si Sanphet. Satu yang sangat disesalkan bahwa hari itu saya tidak membawa topi atau alas kepala. Cuaca matahari sangat terik, panasnya mendera hingga ke ubun ubun. Tidak ingin berlama-lama kebingunan karena memang waktu disini tidaklah banyak. Karena berdasarkan petunjuk di depan tadi, masih terdapat destinasi lain di sekitar sini yang sangat layak untuk disambangi. Sepintas bangunan yang tertera di depan adalah puing-puing reruntuhan. Sepertinya memang dengan sengaja dibiarkan reruntuhannya berserakan. Jika melihat dari tekstur yang berbaris rapih, tampaknya bahwa ini adalah bagian dari bangunan inti sebuah kerajaan. Jika bertebaran, konon adalah bagian taman atau sebagai tempat ruang keheningan yang terpisah dari bangunan inti kerajaan. Tapi itu konon katanya. Maaf ya efek keseringan melihat film.

 
Destinasi di sekitar Wat Phra Si Sanphet

Sebagai pandangan pertama, Wat Phra Si Sanphet merupakan tempat terbaik di Ayutthaya. Ada sisa-sisa bangunan yang berumur ratusan tahun menjulang disana. Ada 3 bangunan yang terlihat sangat mencolok sekali. Bangunan ini menyerupai pagoda yang menjulang tinggi ke langit. Tentunya bangunan ini masih terlihat utuh. Bukan tanpa alasan jika sebuah bangunan pagoda dibangun dengan jarak berdekatan. Biasanya pagoda seperti ini dibangun atas dasar penambahan kegunaannya. Belakangan saya mengetahui bahwa bangunan pertama dibangun oleh Raja Ramathibodi 2 untuk Raja Raja Phra Boromtrailokkanat sebagai Ayahnya. Kemudian pada bagian tengah dibangun untuk Raja Rama III, selanjutnya bangunan lain dibangun untuk ibu dari Raja Ramathibodi 2. Setelah Raja Rama IV bertahta, pagoda (chedi)  lain dibangun di barat untuk Somdej Phra Ramathibodi II, Patula (atau Raja A dari Raja Rama IV (Phra Nod Phutthangkoon)). Bingung bukan? Ya sama, saya juga sangat bingung dengan sejarahnya. Yang pasti bangunan yang tersisa ini konon adalah peninggalah tiga tokoh saat itu. Siapa pemiliknya? Sepertinya adalah generasi Raja Ramathibodi2.

 
Terlihat Phra Mongkon Bophit dari sini

Sepintas pemandu wisata menceritakan bahwa Wat Phra Sri Sanphet merupakan kuil istana yang tidak memiliki biksu Buddha. Berbeda dengan Wat Mahathat, Sukhothai dengan biksu Budha Oleh karena itu menjadi prototipe Kuil Buddha Zamrud di istana agung, dimana tidak ada biksu untuk Buddha nanti. Daripada semakin bingung, akhirnya saya mencoba berkeliling mengikuti alur pedestrian yang berlapiskan debu pasir. Untungnya di bagian dalam ini tidak ada anak anak kecil yang menjajakan souvenir. Mereka pandai merayu tidak jarang juga sembari memaksa kita untuk membeli dagangannya.

 
Puing Puing Kemegahan di Jamannya

Goresan terlihat di beberapa bangunan terlihat seperti curah hujan yang melintasi dinding bangunan. Warnanya merah pudar pertanda bangunan ini dibangun menggunakan tanah liat dan batu bata. Beberapa sisi lain terlihat dinding berwarna putih. Seperti campuran antara kapur dan tanah. Atau pada jaman pembangunannya sudah tersedia semen? Pagoda-pagoda tersebut berada di atas lantai yang lebih tinggi letaknya dari permukaan tanah. Sepintas lalu terlihat bahwa bangunan ini pada akhirnya dijadikan sebagai tempat beribadah. Dalam bayangan saya, para pemuka agama duduk di lantai yang lebih tinggi sementara para pengikutnya berada di sekeliling. Melihat tekstur bangunan yang lapuk ditelan jaman, pertanda sudah lama sekali bekas kerajaan ini dibangun. Beberapa sisi bangunan ini dibatasi dengan pagar yang tinggi dengan beberapa pintu penghubung. Tepat di seberangnya terlihat ada kolam besar dan pepohonan rimbun. Terlihat juga beberapa bangunan lain disana, tetapi karena ragu saya kembali masuk ke dalam area Wat Phra Si Sanphet.

 
Puing istana kerajaan

Hampir 1 jam lamanya saya berada di dalam Wat Phra Si Sanphet ini. Air mineral yang saya bawa nyaris habis. Tetapi ada satu tujuan yang belum terlihat. Saya mencari sebuah patung kepala Budha yang terlilit pada akar pohon. Akhirnya saya tanyakan kepada seorang pemandu wisata yang melintas. Barulah didapat informasi jika letaknya berada di wilayah lainnya. Kita harus kembali ke bagian depan dan berjalan kurang lebih 1000meter jaraknya. Tidak ingin menghabiskan waktu yang lama, saya putuskan untuk keluar dari sini dan mencari keberadaan patung tersebut.

 
Bagian luar

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen