Skip to main content

Phra Mongkhon Bophit Kediaman Patung Perunggu Budha Terbesar Di Thailand (Thailand Part 5)

Setibanya di Ayutthaya abang ojek mengantarkanku ke What Maha That. Cuaca siang itu sangat terik sekali. Meski berada jauh dari Bangkok, tetapi panasnya suhu udara tak jauh beda. Dengan kecepatan santai kendaraan roda dua yang saya naiki mulai membaur dengan lalu lintas Ayutthaya. Meski tidak terlalu ramai hiruk pikuk kendaraan, abang ojek itu tetap saja memacu pelan. Beberapa bangunan berbentuk rumah toko terlihat membentengi jalan raya. Bukan Thailand namanya jika disepanjang jalan tidak terdapat trotoar dan pedestrian. Andai siang itu tidak terlalu terik, pasti menyenangkan berjalan kaki disana. Menikmati taman-taman dengan kolam air di tengahnya. Atau sekaligus menikmati bus-bus dengan karoseri yang unik khas Negeri Gajah Putih. Belum lama lagi menyusuri jalan raya, terlihat dari arah berlawanan seekor gajah terlihat berjalan dengan membawa manusia di atas punggungnya. Sepertinya ini adalah gajah wisata karena terlihat ada tenda yang memayungi penunggangnya. Entah harus senang atau miris melihat gajah-gajah tersebut menyusuri hari. 

 
Gajah Thailand
Bus Thailand

 Tiba-tiba abang ojek menepikan sepeda motornya dan menyatakan bahwa sudah sampai di tujuan. Alih alih mengiyakan, saya ucapkan terimakasih dan berjalan di atas trotoar. Bingung sudah pasti karena tiada tujuan pasti. Siang itu nyaris dikagetkan dengan penjaja es krim yang menawarkan dagangannya. Kulayangkan pandangan berputar mengelilingi poros bumi. Terlihat banyak orang berjalan menuju sebuah bangunan putih besar dengan atap yang menjulang tinggi ke langit. Sepertinya harus memulai siang ini seperti para pengunjung lainnya. Wihan Phra Mongkhon Bophit, demikian nama bangunan besar itu. Terdapat bata merah yang menjadi alur jalan masuk ke arah sana. Di pinggir jalan tersebut terdapat taman-taman luas. Beberapa bendera kuning dipasangkan dalam tiang tiang di tepi jalan. Seperti sedang berada di film-film kekaisaran Mongol.

 

Jalan Masuk Phra Mongkhon Bophit

Pada tahun 900 tepatnya di bulan ke enam tahun anjing, Raja pertama kali menapakkan kaki di Biara Chi Chiang Sai. Kemudian mendirikan kuil dan patung Budha disana. Informasi ini sepintas saya dengar sayup-sayup dari seorang pemandu lokal kepada pengunjung yang berjalan lambat di depan sana. Beruntunglah siang itu bisa mencuri informasi meski samar-samar. Wajar saja, hari itu saya terlalu pelit untuk menyewa seorang pemandu wisata. Dua tiang tinggi besar menjadi penopang kuil putih besar itu. Setiap pengunjung dapat membeli dupa di pelataran depannya. Puluhan pasang alas kaki terlihat di depan pintu masuk. Sepertinya memang harus melepas alas kaki untuk masuk ke dalam bangunan ini. Dengan perlahan dan tetap tenang, kulangkahkan kaki memasuki kuil. Mayoritas pengunjung langsung masuk ke dalam bangunan, menyusuri tangga menuju bangunan yang lebih tinggi. Disana mereka terlihat berdoa memanjatkan segala rupa harapan bahagia dan sejahtera sebagai penghapus lara kepada Sang Pencipta.

 
Bagian depan Phra Mongkhon Bophit

 Sejatinya ingin berlama-lama berada di dalam bangunan ini, selain karena sejuk, ornamen-ornamen bangunan ini sepintas seperti yang dikisahkan oleh Van Vliet. Pedagang dari Belanda di era tahun 1600 ini mengisahkan bahwa bangunan ini dibangun untuk tempat sembahyang Raja Siam. Atap tinggi menjulang agar Patung Budha yang megah bisa berada di dalamnya. Lonceng pemanggil diletakkan di bagian terbuka agar orang-orang di sekitar mendengar bunyinya. Sehingga mereka menghentikan aktifitas ketika prosesi sembayang dilaksanakan. Kisah Van Vliet ini dibukukan Richard D. Cushman dalam buku The Royal Chronicles of Ayutthaya. Jangan tanya bukunya dimana ya, saya pun membaca kisahnya di layar monitor laptop saja. Suara lonceng yang dipukul turut merayu untuk bergegas menuju sisi luar bangunan. Ternyata ada pengunjung yang membunyikannya, sepertinya ada ritual-ritual yang dilakukan oleh para pengunjung disana.

 
Tiada kata seindah doa

 Tak habis kagum untuk menikmati siang di Ayutthaya. Bagaimana tidak, Patung Budha yang terbuat dari perunggu di dalamnya konon menjadi patung Budha terbesar di Thailand. Sungguh beruntung bisa menyambangi tempat ini. Tentunya dibutuhkan biaya dan tenaga besar untuk membuat patung tersebut. Kembali samar terdengar bahwa bangunan ini telah mengalami restorasi berkali kali. Dari kisah terbakar karena petir, hingga perbaikan-perbaikan bangunan karena lapuk dimakan usia. Tidak hanya perbaikan dari Thailand saja, bahkan pengunjung dari mancanegara turut mendukung renovasi untuk pemulihan wihara ini. Perdana Menteri Burma (Myanmar) pada kunjungan resminya di Ayutthaya pada tahun 1956 turut memberikan sumbangan untuk pemulihan bangunan ini. 

 
Sisi lain Phra Mongkhon Bophit

Untuk melepas penasaran saya putuskan untuk berjalan berkeliling bangunan ini. Terdapat penjaja buah potong di belakang bangunan. Cocok memang untuk menghentikan dahaga sementara. Beberapa pohon rindang turut menjadi pagar disana. Rasa letih dan gerah menjadi sirna setelah melihat beberapa candi menjulang tepat di samping Phra Mongkhon Bophit. Sepertinya memang harus kesana, sebagai pelipur lara karena batalnya perjalanan ke Bagan. Candi-candi yang menjulang tinggi itu sepintas memang mirip dengan candi-candi di Bagan, Myanmar sana. Sempat berkeliling untuk mencari jalan masuk, karena bangunan tersebut dikelilingi tembok yang tinggi. Ternyata ada pintu masuk tepat di sebelah kanan Bangunan Phra Mongkhon Bophit. Ketika hendak melangkah masuk, ternyata petugas menanyakan stamp atau tiket tanda masuk. Ternyata memang ada tiket masuk di wilayah paling depan area ini. Dan baru tersadar bahwa sebenarnya abang gojek tidak mengantarkan tepat di wilayah yang harus dikunjungi untuk kali pertama. Untungnya di depan gerbang tersebut terdapat loket yang menjual tiket masuk.

Tampak Luar Phra Mongkhon Bophit 
Candi di sebelah Jalan Phra Mongkhon Bophit



Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen