Skip to main content

Menikmati Mie Aceh Lobster di Tepi Pantai Rigaih Calang Aceh Jaya

Belum lagi jauh kami meninggalkan pusat Kota Calang di Kabupaten Aceh Jaya, kendaraan roda empat yang kami naiki menepi. Bang Mukhlis yang mengemudikan kendaraan ini diminta untuk menunggu sebentar. Tempat pertama yang kami sambangi ternyata tidak mempunyai stok lobster yang cukup untuk kami. Wajar saja karena kami tidak datang di akhir pekan sehingga lobster yang disediakan sangat terbatas. Usut punya usut, jumlah pengunjung ke pantai-pantai di Calang ini lebih ramai di akhir pekan. Pemilik kedai yang kami sambangi ini menyarankan untuk menuju kedai yang tak jauh dari sana, kira kira 200meter jaraknya. Kami diarahkan menuju tepian Teluk Rigaih. Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan.

Benar saja, tak jauh dari kedai pertama tadi terlihat sebuah kedai yang terlihat mencolok di tepi laut. Ada bangunan yang lebih besar dari kedai-kedai di sekitarnya. Ada bangunan yang berdiri kokoh di tepi laut tempat pengunjung bersantai ria. Sebuah gerobak masakan terlihat di bagian depan bangunan bertuliskan Mie Lobster. Di Aceh ini, tidak ada kedai mie yang menyematkan kata Aceh di dalamnya. Karena hampir semua orang sudah tahu bahwa mie yang ditawarkan adalah Mie Aceh. Di sebelah gerobak tersebut terlihat tempat penggorengan. Terlihat ada pisang, tempe, sukun di dalamnya. Pasti akan menjadi petang yang menyenangkan sore ini.

Beberapa kursi dan meja juga disediakan di halaman kedai. Sepertinya kedai ini menjadi pilihan para pengunjung untuk menikmati Mie Lobster. Wajar saja, dari sini kita bisa menikmati suasana tepi laut Aceh Jaya. Posisi kedai ini tepat berada di tepi jalan raya. Suara mesin perahu nelayan sesekali terdengar sangat dekat. Tampaknya ini juga menjadi jalur keluar masuk para nelayan di daerah Rigaih ini. Deburan ombak yang syahdu sesekali turut meramaikan riuh rendah tawa para pengunjung. Beberapa meja tersusun menghadap lautan lepas secara langsung. Andai saja tidak mendung, mungkin akan terlihat sunset yang indah dari sini.

Sebentar saja duduk, kami langsung disuguhkan sepiring gorengan dengan sambal kecap pedas. Mungkin ini strategi pengelola kedai agar kami sabar menunggu pesanan. Untuk menikmati seporsi Mie Lobster, kita harus menunggu 20-30 menit. Sedangkan untuk Mie Aceh saja bisa disajikan dalam tempo waktu 10-15 menit. Kedai ini juga mampu memasak 10 porsi Mie Lobster sekaligus. Sehingga kita tidak terlalu lama menunggu. Seperti kedai mie di Aceh kebanyakan, jenis masakan yang ditawarkan adalah mie goreng, mie goreng basah, mie kuah, mie leukit.


 1 butir kelapa muda yang dipesan telah tersedia di hadapan mata. Kelapa muda memang sangat cocok dinikmati di tepi pantai. Tentunya akan sangat nikmat jika diminum tanpa es dan diberikan jeruk nipis. Aroma jeruk nipis akan menambah kesegaran dari air kelapa muda yang masuk ke dalam tenggorokan. Sore ini memang sangat padu sekali. Sepotong sukun yang digoreng dengan cepat berpindah ke dalam mulut. Digoreng nyaris kering dan sangat panas. Sehingga sangat nikmat ketika dicelup ke dalam piring berisikan sambal kecap.

Pesanan yang dinanti akhirnya tiba. Sepiring mie bertemankan lobster segar. Lobster ini didapat dari nelayan di sekitar kedai yang mengantarnya setiap hari. Tidak hanya satu nelayan saja, maka wajar saja jika selalu tersedia lobster di kedai ini. Hanya saja ada kekurangannya, kedai ini tidak menyediakan alat penjepit. Sehingga kita harus berjibaku membelah lobster bagian per bagian. Sebenarnya ini yang menambah nikmat menyantap mie lobster. Ketika apitan gigi atas dan bawah meremukan kulit lobter dan air liur datang mengisi rongga rongga mulut. Mie yang dipesan sore itu tidaklah pedas karena menjaga ritme perjalanan pulang. Perjalanan Calang - Banda Aceh dapat ditempuh kira kira 2 jam lamanya. Berbeda dengan Mie Lobster kebanyakan, kedai di Rigaih ini mampu mengolah dan menyajikan dengan tepat. Bumbu mie menyerap masuk ke dalam daging lobster. Jelas sekali bumbunya sangat terasa. Sehingga tepat perpaduan mie dan lobster sore itu. Layaknya Mie di Aceh, Mie disajikan bersama kerupuk emping dan acar yang terdiri dari irisan bawang merah, tomat, cabe rawit. Lobster yang ditawarkan juga tidak terlalu kecil. Jika lobster sangat kecil tentunya daging di dalamnya juga akan sangat sedikit. Lobster yang kecil juga akan mengurangi kepuasan pengunjung yang datang. Jika mengunjungi Aceh Jaya, kalian harus mencoba Mie Lobster di Rigaih ini. Jom!


Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen