Skip to main content

Meugang Sebuah Tradisi Unik di Aceh

Pagi ini Kota Banda Aceh sangat sepi. Tidak terlihat lalu lalang masyarakat yang beraktifitas. Hanya terlihat beberapa kedai kelontong saja yang masih buka. Warung kopi tentu saja sudah tutup sejak subuh tadi. Kondisi ini bukan hanya karena sedang berada di bulan puasa. Tetapi hari ini adalah 1 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442H. Menjelang hari raya Kota Banda Aceh memang cenderung lebih sepi dikarenakan sebagian penduduknya  sudah pulang kampung, membersihkan makam keluarga, dan menyiapkan kebutuhan Idul Fitri. 


 Tetapi ada yang unik di tepi trotoar dan di depan pertokoan yang sudah tutup. Terlihat daging sapi yang masih segar tergantung berbaris rapi dari satu lapak dan lapak lainnya. Lapak-lapak penjualan seperti berpindah secara masal dari pasar daging ke tengah-tengah pemukiman masyarakat. Daging yang digantung masih berukuran sangat besar sekali. Terlihat para penjualnya dengan mahir menyayat daging menjadi irisan beberapa potong. Tentu saja daging ini masih sangat segar karena terlihat dari warna dan aroma yang khas. 1 lapak penjual daging biasanya terdiri dari 2-3 pekerja bahkan lebih. Mereka mempunyai peranan masing masing dalam mengiris daging atau memotong tulang. 


 Para penjual daging tersebut sengaja menyembelih sapi dengan bantuan rumah potong hewan. Sapi-sapi tersebut berasal dari hewan ternak yang mereka beli. Sempat terpikir dalam hati saya ketika daging ini tidak laku, pasti ada kerugian yang tidak sedikit dalam usaha ini. Beberapa penjual mengatakan "namanya usaha, pasti ada untung dan rugi. Kalau tidak habis bisa kita bawa pulang, paling tidak ada daging untuk keluarga di hari raya". Usaha menjual daging ini merupakan usaha sampingan, hanya beberapa penjual saja yang menggantungkan hidup sehari-hari dari berjualan daging sapi.

Menjamurnya penjual daging sapi menjelang hari raya di Aceh bukan tanpa sebab. Masyarakat Aceh mempunyai tradisi untuk makan daging menjelang Bulan Ramadhan, Idul Fitri dan juga Idul Adha. Tradisi ini dinamakan juga dengan sebutan Meugang. Tradisi Meugang di Aceh sudah berlangsung cukup lama sekali. Menurut penuturan cerita orang-orang tua dulu, Tradisi Meugang merupakan upaya sedekah orang Aceh yang sudah dilaksanakan bahkan sejak jaman Kerajaan Aceh Darussalam. Diceritakan bahwa Sultan Iskandar Muda saat itu mengajak kaum dermawan untuk berbagi daging sapi maupun kerbau untuk dibagikan kepada masyarakat disekitar, terutama untuk masyarakat yang membutuhkan. C Snouck Hurgrounje seorang Sejarawan Belanda menuliskan dalam bukunya yang berjudul Aceh Di Mata Kolonialis, tradisi Meugang ini dimulai 3 hari menjelang puasa (Kompas.com - 2021). Tradisi masak daging sekaligus menjadi persiapan konsumsi di awal bulan puasa.

Meugang atau Mameugang merupakan sebuah tradisi di Aceh sebagai bentuk bersedekah dan merajut tali silaturahmi. Terdapat istilah Meugang Kecil dan Meugang Besar, meski saya pribadi hanya familiar dengan istilah Meugang saja. Ada semacam prinsip di masyarakat Aceh bahwa Meugang bukanlah kewajiban tetapi menjadi keharusan yang sudah membudaya secara turun temurun. Jika di awal bulan puasa, daging Meugang hanya diperuntukan untuk keluarga saja, menjelang Idul Fitri biasanya daging Meugang juga diberikan kepada kerabat dan kaum yang membutuhkan. Harga daging di saat Meugang cenderung meningkat dari hari-hari biasa. Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan masyarakat Aceh untuk membeli daging Meugang. 

Kalian sudah membeli daging Meugang hari ini? Mau dimasak apa?

 

Sejarawan Belanda yang lama menetap di Aceh era penjajahan, C Snouck Hurgronje dalam buku Aceh Di Mata Kolinialis, menyebutkan persiapan masyarakat Aceh jelang puasa bahkan dilakukan

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Lahirnya Tradisi Meugang Aceh Sambut Ramadhan, Saat Sultan Iskandar Muda Ingin Berbagi Rezeki ke Fakir Miskin", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/04/12/142433678/lahirnya-tradisi-meugang-aceh-sambut-ramadhan-saat-sultan-iskandar-muda?page=all.
Penulis : Kontributor Lhokseumawe, Masriadi
Editor : Aprillia Ika

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

 

Sejarawan Belanda yang lama menetap di Aceh era penjajahan, C Snouck Hurgronje dalam buku Aceh Di Mata Kolinialis,

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Lahirnya Tradisi Meugang Aceh Sambut Ramadhan, Saat Sultan Iskandar Muda Ingin Berbagi Rezeki ke Fakir Miskin", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/04/12/142433678/lahirnya-tradisi-meugang-aceh-sambut-ramadhan-saat-sultan-iskandar-muda?page=all.
Penulis : Kontributor Lhokseumawe, Masriadi
Editor : Aprillia Ika

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Sejarawan Belanda yang lama menetap di Aceh era penjajahan, C Snouck Hurgronje dalam buku Aceh Di Mata Kolinialis

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Lahirnya Tradisi Meugang Aceh Sambut Ramadhan, Saat Sultan Iskandar Muda Ingin Berbagi Rezeki ke Fakir Miskin", Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2021/04/12/142433678/lahirnya-tradisi-meugang-aceh-sambut-ramadhan-saat-sultan-iskandar-muda?page=all.
Penulis : Kontributor Lhokseumawe, Masriadi
Editor : Aprillia Ika

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen