Skip to main content

Posts

Secuil Belanda di Taman Celocia Kabupaten Aceh Jaya

  Kendaraan roda empat yang kami tumpangi terpaksa harus kembali berputar arah. Ternyata kami benar benar tidak memperhatikan arah tujuan yang telah ditunjukkan pada google maps. Padahal sejak memasuki kawasan Calang kami sudah memperhatikan peta digital yang tersedia di telepon seluler. Setelah memarkirkan kendaraan, kami bergegas untuk masuk ke dalam. Dari tepi jalan terlihat beragam tanaman bunga yang memenuhi seisi halaman. Ada bunga berwarna merah, kuning, dengan daun hijau yang lebat.

Melihat Keunikan Patung Kepala Budha dalam Dekapan Pohon Bodhi di Ayutthaya (Thailand Part 7)

Setelah meninggalkan Wat Phra Si Sanphet pikiran saya terus menerus dihinggapi gambar Kepala Patung Budha pada akar pohon. Ah masa iya sih ada kepala patung yang tersimpan rapih di akar pohon. Sebenarnya saya harus percaya karena sudah melihatnya di media sosial. Ingin beranjak dengan cepat, tetapi Ayutthaya siang ini sangat terik luar biasa. Untungnya jalan yang disediakan sebagai pedestrian dipayungi lebatnya pepohonan. Ketika angin berhembus, amboi sungguh sejuk. Sayangnya tidak terlihat penjaja asongan di sepanjang pedestrian ini. Andai saja ada starling ya, Starbak Keliling seperti di Kota Tua. Mau juga menikmati segelas teh dingin. Kalau di Banda Aceh teh dingin adalah sebutan untuk es teh manis dingin. Beruntungnya lagi siang itu pengunjung tidak terlalu ramai. Jalanan cenderung sepi, tak seramai pagi tadi. Mungkin karena sudah siang, lagi terik.   Akhirnya saya berada di ujung jalan. Ini terlihat dari sebuah pintu masuk di hadapan mata. Benar sekali, tadi saya masuk dari pintu

Merengkuh Tabir Kisah Nomensen di Garedja Dame Desa Saitnihuta Tarutung

  Sipata ro tu rohakku (kadang muncul dalam hatiku) Na hubereng i torang (yang kulihat terang) Gabe naeng tadingkonon ku (membuat ingin kutinggalkan) Dalan naung hubolus hian (jalan yang pernah kulalui)    Sepengga l lagu Gara milik Tongam Sirait memenuhi kendaraan yang kami gunakan. Melalui telepon seluler disambungkan secara wireless ke pemutar musik di mobil. Sebelumnya kami sudah menuju Salib Kasih dan harus gigit jari karena sudah tutup pada pukul 5 sore tadi. Setelah Jembatan Simorangkir kami putuskan belok ke kiri hingga ujung dan kemudian ke kanan mengarah ke Desa Saitnihuta. Sepintas Saitnihuta jika diartikan dari Bahasa Batak ke Indonesia adalah Penyakitnya Desa. Tapi jujur saya kurang sepakat dengan arti ini, pasti ada makna tersendiri kenapa desa ini diberi nama Saitnihuta. Setidaknya sedari awal saya penasaran terhadap desa ini sebagai bagian dari sejarah penyebaran agama Kristen di Tanah Batak. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa mayoritas penduduk Tarut

Makan Daging Kuda di Dolok Sanggul

"Sudah sampai dimana?" "Siborong-Borong Bang" "Tolong belikan daging kuda nanti di Dolok Sanggul ya" "Oke Bang, beres"    Lae Limbong dan Bapak Uda Lubuk Linggau Mendengar percakapan antara Bapak dengan Bapak Uda (Adik Bapak dalam Silsilah Batak) melalui telepon adalah hal yang biasa. Bapak selalu menghubungi kerabat kami sepanjang waktunya. Jadi sangat lumrah jika mendengar Bapak sekedar menanyakan kabar dan keadaan keluarga kami lainnya. Tetapi sekali ini saya kaget dan heran mendengar Bapak memesan daging kuda. Seperti sangat awam dalam pikiran, seperti kali pertama makan daging rusa di Calang, Aceh Jaya. Terlebih karena kuda adalah hewan peliharaan yang jarang ditemukan di pasaran. Rasanya aneh jika harus menyembelih dan mengkonsumsi dagingnya. Dan ketika Bapak Uda yang berangkat dari Lubuk Linggau sudah tiba di Desa Aek Nauli, tanah kelahirannya, barulah saya percaya bahwa daging kuda itu benar adanya. Tapi keraguan itu masih ada, apakah lay

Aek Nauli Sustainable Tourism, Mungkinkah?

Dari sekian banyaknya keberuntungan, kembali menyambangi tanah kelahiran nenek moyang menjadi salah satu dari beragam keberuntungan tersebut. Karenanya waktu-waktu yang tersedia menjadi sangat berharga jika berada disana. Seperti saat ini, selalu menyempatkan diri untuk menikmati sepi di belakang pekarangan rumah. Tidak akan terdengar hingar bingar kemacetan kota. Sesekali saja kendaraan melintas yang terlihat dari pandangan mata. Jumlahnya dapat dihitung karena intensitasnya jauh dari kata puluhan. Mungkin lalu lalang kendaraan yang melintas akan terbilang ramai ketika hari Rabu yang menjadi hari pekan atau ketika ada acara adat (pernikahan, pemakaman, dan lain lain).   Dari belakangan pekarangan rumah opung (opung baoa = kakek, opung boru = nenek) terlihat jelas Danau Toba. Terlambat saja datang, maka keindahannya akan tersamarkan kabut atau pekatnya malam. Sepintas lalu Danau Toba terlihat sangat dekat dari sini. Seperti fatamorgana saja sebenarnya karena jika menggunakan kendaraan

Guesthouse Bu Ade Sabang Feel Like Home

Feel like home to me Feels like I'm all the way back where I belong  Sepenggal lirik Feel Like Home milik Chantal Jennifer Kreviazuk terdengar jelas di telinga. Lagu ini terdengar lembut dari pengeras suara yang tersemat di telinga. Tetapi harus segera berhenti mendengarkan lagu ini setelah van jemputan kami tiba di penginapan. Dari luar tidak tampak bahwa bangunan di hadapan mata adalah sebuah penginapan. Lahar parkir tidak luas, hanya bisa menampung 2 unit kendaraan roda empat dan beberapa unit sepeda motor saja. Beberapa pot bunga tertata rapih di sudut halaman. Dibatasi dengan jaring jaring jala nelayan. Sepertinya menghindari adanya gangguan dari ternak yang melintas. Sepintas saja memang lagi lagi tidak terlihat bangunan ini seperti penginapan. Halaman kecil di depan bangunan yang menyerupai rumah ini tidak mempunyai pagar pembatas dengan jalan raya. Tetapi dapat saya yakinkan kepada kalian bahwa bangunan ini adalah sebuah penginapan di Pusat Kota Sabang.  Tepat di bagian de

Meugang Sebuah Tradisi Unik di Aceh

Pagi ini Kota Banda Aceh sangat sepi. Tidak terlihat lalu lalang masyarakat yang beraktifitas. Hanya terlihat beberapa kedai kelontong saja yang masih buka. Warung kopi tentu saja sudah tutup sejak subuh tadi. Kondisi ini bukan hanya karena sedang berada di bulan puasa. Tetapi hari ini adalah 1 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442H. Menjelang hari raya Kota Banda Aceh memang cenderung lebih sepi dikarenakan sebagian penduduknya  sudah pulang kampung, membersihkan makam keluarga, dan menyiapkan kebutuhan Idul Fitri.   Tetapi ada yang unik di tepi trotoar dan di depan pertokoan yang sudah tutup. Terlihat daging sapi yang masih segar tergantung berbaris rapi dari satu lapak dan lapak lainnya. Lapak-lapak penjualan seperti berpindah secara masal dari pasar daging ke tengah-tengah pemukiman masyarakat. Daging yang digantung masih berukuran sangat besar sekali. Terlihat para penjualnya dengan mahir menyayat daging menjadi irisan beberapa potong. Tentu saja daging ini masih sangat segar k