Skip to main content

Posts

Makan Daging Kuda di Dolok Sanggul

"Sudah sampai dimana?" "Siborong-Borong Bang" "Tolong belikan daging kuda nanti di Dolok Sanggul ya" "Oke Bang, beres"    Lae Limbong dan Bapak Uda Lubuk Linggau Mendengar percakapan antara Bapak dengan Bapak Uda (Adik Bapak dalam Silsilah Batak) melalui telepon adalah hal yang biasa. Bapak selalu menghubungi kerabat kami sepanjang waktunya. Jadi sangat lumrah jika mendengar Bapak sekedar menanyakan kabar dan keadaan keluarga kami lainnya. Tetapi sekali ini saya kaget dan heran mendengar Bapak memesan daging kuda. Seperti sangat awam dalam pikiran, seperti kali pertama makan daging rusa di Calang, Aceh Jaya. Terlebih karena kuda adalah hewan peliharaan yang jarang ditemukan di pasaran. Rasanya aneh jika harus menyembelih dan mengkonsumsi dagingnya. Dan ketika Bapak Uda yang berangkat dari Lubuk Linggau sudah tiba di Desa Aek Nauli, tanah kelahirannya, barulah saya percaya bahwa daging kuda itu benar adanya. Tapi keraguan itu masih ada, apakah lay

Aek Nauli Sustainable Tourism, Mungkinkah?

Dari sekian banyaknya keberuntungan, kembali menyambangi tanah kelahiran nenek moyang menjadi salah satu dari beragam keberuntungan tersebut. Karenanya waktu-waktu yang tersedia menjadi sangat berharga jika berada disana. Seperti saat ini, selalu menyempatkan diri untuk menikmati sepi di belakang pekarangan rumah. Tidak akan terdengar hingar bingar kemacetan kota. Sesekali saja kendaraan melintas yang terlihat dari pandangan mata. Jumlahnya dapat dihitung karena intensitasnya jauh dari kata puluhan. Mungkin lalu lalang kendaraan yang melintas akan terbilang ramai ketika hari Rabu yang menjadi hari pekan atau ketika ada acara adat (pernikahan, pemakaman, dan lain lain).   Dari belakangan pekarangan rumah opung (opung baoa = kakek, opung boru = nenek) terlihat jelas Danau Toba. Terlambat saja datang, maka keindahannya akan tersamarkan kabut atau pekatnya malam. Sepintas lalu Danau Toba terlihat sangat dekat dari sini. Seperti fatamorgana saja sebenarnya karena jika menggunakan kendaraan

Guesthouse Bu Ade Sabang Feel Like Home

Feel like home to me Feels like I'm all the way back where I belong  Sepenggal lirik Feel Like Home milik Chantal Jennifer Kreviazuk terdengar jelas di telinga. Lagu ini terdengar lembut dari pengeras suara yang tersemat di telinga. Tetapi harus segera berhenti mendengarkan lagu ini setelah van jemputan kami tiba di penginapan. Dari luar tidak tampak bahwa bangunan di hadapan mata adalah sebuah penginapan. Lahar parkir tidak luas, hanya bisa menampung 2 unit kendaraan roda empat dan beberapa unit sepeda motor saja. Beberapa pot bunga tertata rapih di sudut halaman. Dibatasi dengan jaring jaring jala nelayan. Sepertinya menghindari adanya gangguan dari ternak yang melintas. Sepintas saja memang lagi lagi tidak terlihat bangunan ini seperti penginapan. Halaman kecil di depan bangunan yang menyerupai rumah ini tidak mempunyai pagar pembatas dengan jalan raya. Tetapi dapat saya yakinkan kepada kalian bahwa bangunan ini adalah sebuah penginapan di Pusat Kota Sabang.  Tepat di bagian de

Meugang Sebuah Tradisi Unik di Aceh

Pagi ini Kota Banda Aceh sangat sepi. Tidak terlihat lalu lalang masyarakat yang beraktifitas. Hanya terlihat beberapa kedai kelontong saja yang masih buka. Warung kopi tentu saja sudah tutup sejak subuh tadi. Kondisi ini bukan hanya karena sedang berada di bulan puasa. Tetapi hari ini adalah 1 hari menjelang Hari Raya Idul Fitri 1442H. Menjelang hari raya Kota Banda Aceh memang cenderung lebih sepi dikarenakan sebagian penduduknya  sudah pulang kampung, membersihkan makam keluarga, dan menyiapkan kebutuhan Idul Fitri.   Tetapi ada yang unik di tepi trotoar dan di depan pertokoan yang sudah tutup. Terlihat daging sapi yang masih segar tergantung berbaris rapi dari satu lapak dan lapak lainnya. Lapak-lapak penjualan seperti berpindah secara masal dari pasar daging ke tengah-tengah pemukiman masyarakat. Daging yang digantung masih berukuran sangat besar sekali. Terlihat para penjualnya dengan mahir menyayat daging menjadi irisan beberapa potong. Tentu saja daging ini masih sangat segar k

Menikmati Mie Aceh Lobster di Tepi Pantai Rigaih Calang Aceh Jaya

Belum lagi jauh kami meninggalkan pusat Kota Calang di Kabupaten Aceh Jaya, kendaraan roda empat yang kami naiki menepi. Bang Mukhlis yang mengemudikan kendaraan ini diminta untuk menunggu sebentar. Tempat pertama yang kami sambangi ternyata tidak mempunyai stok lobster yang cukup untuk kami. Wajar saja karena kami tidak datang di akhir pekan sehingga lobster yang disediakan sangat terbatas. Usut punya usut, jumlah pengunjung ke pantai-pantai di Calang ini lebih ramai di akhir pekan. Pemilik kedai yang kami sambangi ini menyarankan untuk menuju kedai yang tak jauh dari sana, kira kira 200meter jaraknya. Kami diarahkan menuju tepian Teluk Rigaih. Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Benar saja, tak jauh dari kedai pertama tadi terlihat sebuah kedai yang terlihat mencolok di tepi laut. Ada bangunan yang lebih besar dari kedai-kedai di sekitarnya. Ada bangunan yang berdiri kokoh di tepi laut tempat pengunjung bersantai ria. Sebuah gerobak masakan terlihat di bagian depan bangunan

10 Alasan Naik Bus ke Banda Aceh

Ada beragam alasan yang menjadikan Banda Aceh menjadi salah satu destinasi impian para pecinta bus di Indonesia. Beberapa kawan yang tiba di Banda Aceh bercerita bahwa mereka penasaran dengan Terminal yang berisikan chasis premium, ada yang rindu kulinernya, hingga ada yang ingin piknik ke Nol Kilometer di Pulau Weh, Kota Sabang. Berikut ini akan saya sarikan 10 alasan kenapa harus naik bus ke Banda Aceh.  1. Paling Ujung Barat Indonesia Secara geografis, Terminal Bus Batoh Banda Aceh berada di ujung paling barat Indonesia. Hal ini menandakan bahwa Terminal Bus Batoh menjadi terminal bus terakhir di wilayah barat. Belum ada rute bus lanjutan selain Medan - Banda Aceh dari Terminal Bus Batoh ini.

Ayutthaya, Segenggam Bagan di Thailand (Thailand Part 6)

Siang itu terik seakan menghilang setelah bayang bayang pohon rindang menaungi teras depan pos penjaga. Begini sulitnya memang kalau kurang pandai berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Padahal petugas penjaga pintu masuk Wat Phra Si Sanphet telah bertanya dengan jelas. Dasar saya memang tak paham Bahasa Inggris. Untungnya tangannya mengarahkan pos petugas wisata di dekat pintu masuk. Petugas lain menjelaskan bahwa setelah membayar tiket masuk, pengunjung diperkenankan mengelilingi beberapa lokasi di Ayutthaya. Semua destinasi tertera dalam sebuah map yang dibagikan secara gratis. Beruntungnya pelancong yang berkunjung kemari. Andai semua daerah wisata di Indonesia punya peta wisata dan dibagikan secara gratis di bandara atau terminal bus. Untuk masuk ke Wat Phra Si Sanphet kita sebagai turis asing harus merogoh kocek sebesar 50 Baht. Sedangkan untuk turis domestik dikenai tarif sebesar 10Baht.    Wat Phra Si Sanphet