Skip to main content

Museum Kretek di Kudus: Menelusuri Sejarah dan Keunikan Kretek Indonesia

 


Museum Kretek di Kudus adalah destinasi menarik yang layak dikunjungi bagi pecinta sejarah dan penggemar rokok tradisional. Terletak strategis di pusat kota, saya memutuskan untuk menggunakan layanan ojek online agar lebih mudah sampai ke sana. Setibanya di gerbang masuk, saya disambut dengan ramah oleh petugas yang berjaga, memberikan kesan positif sejak awal.


Konsep museum yang sederhana namun menarik benar-benar mencuri perhatian saya. Saya diajak untuk mengikuti alur sejarah tembakau di Kudus dan Indonesia dengan mengelilingi bangunan searah jarum jam. Dalam perjalanan itu, saya menemukan ruang kerja para pelaku sejarah kretek, diorama produksi yang memperlihatkan proses pembuatan kretek, serta beragam alat dan peralatan pengolahan tembakau dari masa lampau. Di sini juga dijelaskan beragam tembakau yang berasal dari penjuru nusantara. Tembakau Deli, Gayo, dan dari daratan Jawa sendiri terlihat tersusun rapi. 


Saya sangat kagum, betapa museum ini masih menyimpan peralatan pembuatan rokok kretek secara tradisional. Beberapa alat dipajang rapi di sana. Lengkap dengan nama dan informasi cara menggunakannya. 


Tidak hanya tembakau saja yang dipamerkan, proses mengolah tembakau hingga menjadi rokok juga disajikan di sini. Sebuah diorama yang apik menggambarkan setiap prosesnya. Saya seperti diajak untuk berada di suasana masa lampau saat tembakau-tembakau tersebut diolah. Bahkan museum ini juga memamerkan rokok rokok dengan beragam merk. Museum ini juga memiliki koleksi bungkus kretek zaman dahulu dan berbagai produk kretek yang menarik untuk disimak. Ternyata ada Rokok Jambu Bol, kenangan masa kecil kembali hadir saat melihatnya.



Meskipun cuaca di luar begitu panas, saya merasa nyaman saat berada di dalam museum. Kebersihan dan kerapihan museum ini benar-benar terjaga dengan baik. Menariknya, aroma tembakau tidak terlalu mencolok sehingga museum ini tetap nyaman dikunjungi oleh orang yang bukan pecinta rokok. Terutama bagi pelajar, museum ini memberikan kesempatan yang baik untuk mempelajari sejarah pendiri usaha tembakau di Kudus serta melihat berbagai koleksi rokok dari berbagai era. Bahkan, beberapa produk rokok yang sudah tidak diproduksi lagi pun masih bisa ditemukan di sini.



Setelah menjelajahi museum selama sekitar satu jam, saya melanjutkan perjalanan ke bagian belakang museum. Di sana, saya menemukan kolam renang kecil yang tampak menyenangkan. Kolam renang ini cocok untuk anak-anak bermain dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Namun, sebelum meninggalkan area depan museum, ada satu hal yang menarik perhatian saya: sebuah rumah kayu yang terletak di sebelah kiri halaman. Rumah kayu ini memiliki bentuk yang khas, mirip dengan Rumah Joglo, dengan ukiran-ukiran kayu yang indah. Saya menduga kehadiran ukiran-ukiran ini dipengaruhi oleh dekatnya Kudus dengan Jepara, kota yang terkenal dengan keahlian ukir kayunya.


Tiket masuk ke museum ini adalah 4.000rupiah untuk hari biasa. Sedangkan saat akhir pekan, setiap pengunjung dikenai tarif 5.000rupiah. Sangat terjangkau sekali.



Sayangnya, rumah kayu tersebut terkunci dan saya hanya bisa mengaguminya dari luar. Meski begitu, rumah kayu ini memberikan kesan klasik dan menjadi salah satu daya tarik menarik dalam kunjungan saya ke museum ini.


Museum Kretek di Kudus adalah destinasi menarik yang memungkinkan pengunjung untuk menelusuri sejarah dan keunikan kota kretek ini. Dari sambutan ramah petugas hingga konsep museum yang menarik, serta koleksi yang lengkap mengenai kretek, museum ini memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Jika Anda adalah seorang pecinta sejarah atau penggemar rokok tradisional, maka museum ini merupakan tempat yang wajib dikunjungi saat berada di Kudus. Dengan lokasinya yang strategis dan konsep yang menarik, Museum Kretek akan membawa Anda pada perjalanan melalui sejarah tembakau di Kudus dan Indonesia secara menyeluruh.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen