Skip to main content

Naik Kereta Api Dari Bangkok ke Ayutthaya (Thailand Part 4) Henri Sinurat


Akhirnya semua pengunjung Stasiun Bangkok kembali berjalan dan beraktifitas. Setelah sebelumnya terhenti terdiam mendengarkan lagu Kebangsaan Thailand. Seperti kebanyakan stasiun kereta di Indonesia, loket penjualan tiket akan terlihat sangat jelas dan mencolok. Saya tidak langsung menuju penjualan tiket. Hendak menikmati suasana pagi Bangkok Railways Station. Ya benar sekali, Stasiun Kereta Bangkok dalam bahasa Inggris tertulis Bangkok Railways Station. Stasiun ini juga disebut sebagai Hua Lampong Station. Suasana stasiun ini sangat ramai. Hiruk pikuk pengunjung terlihat jelas. Wajar saja, stasiun ini menghubungkan Bangkok dengan berbagai kota lainnya di seantero Thailand. Sepertinya Stasiun Hua Lampong menjadi jantung transportasi kereta api Thailand.
Bangkok Railways Station / Hua Lampong Station

Sejatinya stasiun kereta api sangat besar dan luas. Terlihat dari barisan rel di bagian luar. Lebih dari 4 kereta yang terlihat sedang parkir disana. Tidak butuh waktu yang lama untuk kereta-kereta tersebut bergantian loading dengan kereta lainnya. Dari pintu kedatangan kita akan disambut oleh beberapa penjaja makanan, minuman dan merchandise. Tenang saja, mereka tertata secara rapih dalam sebuah kios-kios kecil. Posisinya tidak mengganggu para pengunjung yang melintas. Persis seperti kios-kios di Stasiun Bandung. Pada bagian tengah bangunan terdapat area yang dibatasi. Sepertinya tempat untuk sembahyang atau memang sengaja dikosongkan. Terlihat jelas disana bagian tengah aula yang dirias dan dipagari dengan kain bercorak. Sebuah foto besar tampak menjadi sebuah pusat perhatian dalam kawasan berpagar ini. Saya tidak mencoba untuk masuk ke dalam area karena memang tidak ada seorang pun yang berada disana.
Bangkok Railways Station / Hua Lampong Station

Stasiun Hua Lampong ini terlihat sangat unik. Belum banyak sentuhan modern dalam struktur bangunannya. Terlihat kaca kaca berteraliskan besi dengan ornamen lama. Pada bagian tembok belakang konter tiket, terlihat telepon umum berjajar rapih. Di era sekarang ini, posisi telepon umum memang sudah kurang menjadi prioritas. Tetapi di Hua Lampong, gagang telepon tersebut masih tertata rapih dalam ruang-ruang kecil telepon umum. Saya tidak mencoba untuk keluar dari Stasiun Hua Lampong ini. Sehingga tidak tahu persis bagaimana bentuk bangunannya terlihat dari luar.
Telepon Umum

Antrian tiket tidak terlalu ramai pagi itu. Mungkin saja karena saya telah memberi jeda terhadap waktu kedatangan tadi. Hanya menunggu 2 pengunjung saja untuk akhirnya dapat berhadapan dengan petugas penjual tiket.

"Ayutthaya" pintaku dengan senyuman.
"20 Baht"

Harga tiketnya lumayan murah. Jika dirupiahkan setara dengan 10 ribu rupiah. Masih ada beberapa koin yang tersisa dari Hatyai semalam. Hanya saja butuh waktu untuk menghitung pasti, koin koin mana saja yang bisa digunakan. Biasanya saya turunkan beberapa keping, kemudian petugas penjual loket membantu mengambil dan mengembalikan kelebihannya. Dengan jelas petugas tersebut menunjukkan detail tiketnya. Jam keberangkatan, nomor kursi, harga tiket juga stasiun tujuan. Pastikan jika membeli tiket untuk mendapatkan nomor kursi. Karena jarak Bangkok ke Ayutthaya dapat ditempuh selama 1-2 jam perjalanan. Bentuk tiketnya masih selembar kertas seperti tiket bus.

Sebenarnya jadwal kereta ke Ayutthaya tertera jelas pada papan informasi stasiun. Hanya saja saya tidak memperhatikan sejak awal. Ada beberapa kereta api yang bisa mengantar kita kesana. Di jadwal terlihat ada tipe kereta Ordinary, Special Express, Rapid, Express. Perbedaan kereta api inilah yang membedakan kecepatan dan fasilitasnya. Karena jarak antara Bangkok dan Ayutthaya, saya memilih Ordinary. Pun jadwal kereta ini yang paling dekat saat itu. Belakangan ketika sampai di Ayutthaya saya baru tahu kalau tujuan saya hanyalah perlintasan kereta api. Kereta-kereta menuju Chiang Mai juga akan melintasi Ayutthaya. Karena jadwal keberangkatan kereta api sudah dekat maka saya putuskan untuk tidak singgah ke kamar mandi.

Baca Juga: Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Petugas di lintasan kereta api sangat ramah dan cekatan. Bahasa Inggris mereka bahkan sangat mahir, dengan tenang dan jelas mereka memberikan informasi kereta mana yang akan saya naiki. Padahal saya hanya menunjukkan selembar kertas tiket saja. Kereta yang akan saya naiki sudah terlihat ramai. Mudah saja untuk menemukan nomor kursi yang tertera dalam tiket. Jika naik kereta ordinary, bayangan akan kembali pada nostalgia naik KRD dari Kiara Condong ke Rancaekek. Kereta api tanpa jendela dengan pengguna yang padat sekali. Kereta yang saya naiki juga terlihat sangat padat hari ini. Untungnya ada rak dari teralis besi untuk menyimpan tas pada bagian atas. Keretanya sangat bersih, jendela yang digunakan sangat besar dan tidak diberikan kaca. Ini memberikan celah kepada angin untuk berhembus masuk. Sehingga suasa panas Bangkok siang itu sedikit terlupakan. Beberapa masyarakat yang naik terpaksa menggeser orang lain yang sudah duduk sebelumnya. Hal ini karena nomor bangku mereka digunakan oleh orang lain. Itu kenapa saya mendorong kalian untuk menanyakan nomor bangku sebelum membeli tiket. Meski jarak Bangkok ke Ayutthaya hanya 100km, tapi 1-2 jam akan terasa juga dalam perjalanan.
Kereta ke Ayutthaya

Tepat seperti yang tertera di tiket, kereta mulai berjalan perlahan meninggalkan Hua Lampong Station. Hampir semua bangku terisi penuh. Pintu pada bagian tengah gerbong sudah tertutup rapat. Belum lama kereta berjalan, sudah kembali berhenti. Ternyata sudah tiba pada stasiun berikutnya. Pada akhirya saya mengetahui kalau kereta ordinary ini akan berhenti di setiap stasiun yang dilintasi. Kecuali pada stasiun yang memang tidak beroperasi. Karena ada beberapa stasiun kecil yang tidak disinggahi.

Belum lagi 10 menit berlalu, petugas kereta api datang dan memeriksa tiket perjalanan. Kondektur ini juga yang kemudian membantu orang-orang tua dan ibu ibu untuk mendapatkan tempat duduk. Pemeriksaan tiket dilakukan secara manual. Tiket kemudian dilubangi dengan besi yang menyerupai tang. Setelah beberapa stasiun, kereta menjadi padat dan penuh sesak. Untungnya kereta ini bersih dan tidak bau. Jadi kita tetap merasa aman untuk berada di dalamnya. Karena melihat ada ibu-ibu yang naik di Stasiun Don Mueang, akhirnya bangku yang saya tempati saya berikan kepadanya. Tentunya dengan menggunakan bahasa isyarat karena saya tak mengerti bahasa Thailand. Beberapa tahun sebelumnya saya pernah menggunakan stasiun ini ketika akan terbang dari Bandara Don Mueang ke Polonia, Medan. Stasiun ini terkoneksi dengan Bandara Don Mueang.
Stasiun Ayutthaya

Panasnya suasana Thailand pagi menjelang siang itu dikalahkan oleh angin sepoi-sepoi yang masuk ke dalam kereta api. Sehingga saya tidak sadar bahwa sebenarnya kereta ini tidak mempunyai mesin pendingin ruangan. Setelah perjalanan dua jam lamanya, akhirnya saya tiba di Stasiun Ayutthaya. Dengan cepat saya bergegas menuju toilet. Kamar mandi disini sangat luas dan besar. Sangat cocok digunakan untuk membersihkan diri. Lokas kamar mandi tepat di sebelah kanan gedung stasiun. Akhirnya badan kembali segar setelah selesai mandi.


Stasiun Ayutthaya

Stasiun Ayutthaya tidaklah besar. Hanya ada 4-5 lintasan kereta api yang terlihat. Pada bagian dalam stasiun terdapat beberapa loket penjualan tiket. Tidak sebanyak di Stasiun Hua Lampong. Di bagian kedatangan, terlihat beberapa peta perjalanan wisata. Saya ambil untuk jadi bekal kelak. Di depan stasiun terdapat beberapa angkutan menyerupai bemo atau oplet yang terparkir. Atau mungkin ini seperti tuktuk. Para penjaga menawarkan jasa untuk mengantarkan pengunjung ke berbagai tujuan. Informasi ini saya dapat setelah melihat gambar yang mereka bawa. Persis seperti cerita kawan kawan lain yang sudah lebih dulu ke Ayutthaya, di sini juga terdapat beberapa penyewaan kendaraan roda dua. Saya tidak berniat menyewa karena belum tentu nanti kembali ke stasiun ini. Jika ada waktu, ruang dan niat lain, biasanya saya merubah rencana dalam sebuah perjalanan.

Waktu menunjukkan hampir pukul 11 siang. Rasa lapar kembali melanda. Tepat di depan stasiun terlihat ada sebuah kedai nasi khas Thailand. Di kedai nasi tersebut kemudian saya pesan sepiring nasi dan telur dadar.

"Rice and omelet, please"
"only it?" Jawab bibi penjual.
"Ya, i have Randang" jawabku singkat
"Rendang, What is this?"
"Oh this is meat from West Sumatera, Indonesia" jawabku ramah.
"Owh oke, 40 Baht"

Nasi Telur Dadar dan Rendang Paku

Butuh beberapa saat untuk bibi ini menyajikan makanan yang saya pesan. Sepiring nasi panas juga selembar telur dadar panas untuk sarapan pagi ini. Jika sedang melakukan perjalanan saya kerap membawa Randang Paku Rang Kito khas Dharmasraya, Sumatera Barat. Sesuai dengan namanya, Randang Paku Rang Kito ini menggunakan tanaman Pakis sebagai bahan baku utamanya. Makanan ini sangat praktis untuk dibawa kemana mana. Tidak perlu dipanaskan, dan bisa langsung dimakan. Harganya juga terbilang murah dan ramah di kantong kita. Kenapa ini juga kerap saya bawa, karena butuh waktu untuk lidah saya bisa beradaptasi dengan makanan di daerah lain. Setelah selesai sarapan saya kembali mendatangi bibi dan membayar makanan yang telah dipesan. Di samping kedai tersebut terlihat beberapa abang ojek yang santai menunggu pelanggan. Sembari menunjukkan foto What Maha That saya mencoba menawar ongkos ojek kesana. Beliau menawarkan 50Baht, saya tawar 30Baht, dan akhirnya cocok di 40Baht. Lumayanlah 20ribu rupiah, daripada berjalan kaki di bawah terik matahari. Hingga akhirnya saya dibawa ke bangunan kuil yang besar. Seperti tempat sembahyang di Hatyai kemarin. Bedanya, disini sangat ramai didatangi pengunjung. Setelah menerima kembalian 10Baht, akhirnya saya mulai menikmati Ayutthaya. Dan sempat tercengang, seperti sedang berada di Bagan, Myanmar atau sedang ke Angkor Wat. Tapi apapun itu, senang bisa menikmati keindahan Ayutthaya, salah satu Warisan Budaya Dunia yang diakui oleh UNESCO.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen