Skip to main content

Lombok, Last Trip 2012 (part 5)



Tiba di rumah paman, bibi dan keluarga telah menyiapkan hidangan makan siang. Beberapa bakul nasi juga kari ayam. Rupanya tadi bibi memotong ayam untuk kami. Setelah mencuci tangan dan kaki dengan air yang mengucur dari kendi santap siang segera dilaksanakan. Jamuan yang sungguh luar biasa bagi kami yang barus saja dikenalkan kepada paman. Mungkin seperti inilah ramah tamah Suku Sasak. Sembari santap siang, paman sesekali berkelakar. Duet yang fantastis antara Bang Heri dan Paman, kesah disambung dengan kesah. Selepas makan, kopi kembali mengaliri lambung. Mungkin jika kita mampir di 10 rumah, maka akan ada  10gelas kopi yang kita minum bila di Lombok ini. Apa lagi cerita? Di tengah kenyang melanda, rupanya sudah ada air nira.
Sembari bercerita ini bercerita itu tentang kondisi kampung ini, bergelas gelas air nira segera berpindah ke dalam perut. Beginilah Indonesia, ada sedikit ceria di atas miris yang melanda. Setelah bercerita meski tak puas tiada tamatnya, pamitlah kami kembali ke Jerowaru. Nasehat nasehat mengiringi kepergian kami. Jangan sungkan untuk kembali kemari ujar paman. Sungguh luar biasa paman kita, dengan keterbatasan keadaan, masih sempat memikirkan kemajuan kampung. Karena ketika ada permasalah di kampung ini, paman turut serta menjadi penengah. Ada sedikit cerita dari Paman tapi karena bodohnya saya, jadi sedikit lupa. Ada kepercayaan masyarakat setempat, ketika ada sesuatu kejadian yang membutuhkan pembuktian. Maka yang berkepentingan akan dibawa ke sebuah makam. Setelah memegang air dan tanah di makam tersebut, maka yang akan tampak mana yang salah dan benar. Biasanya yang salah akan langsung mendapat ganjaran langsung berupa sakit atau kematian. Ingin rasanya melihat tanah itu, tetapi hari sudah terlalu sore. Mungkin ini adalah cara Lombok merayu kami untuk kembali. Roda berputar kembali di jalanan berkerikil. Ketika jalanan kembali beraspal tebal pertanda Jerowaru tak jauh lagi. Sampai di kediaman Jali, segelas kopi telah menanti kembali. Cuci kaki tangan tidak mandi langsung kami libas kehangatan kopi. Senja datang dan lagi lagi makanan khas Sasak telah dihidangkan. Luar biasa harus bekerja keras lambung sepertinya. Sebelumnya kami meminta maaf jika setelah makan nanti jangan ada lagi kopi karena selepas makan nanti kami bergerak ke Lombok Tengah. Ada beberapa kawan yang sudah mandi dan berkemas. Kemudian terdengar alunan petikan gambus. Nah siapa lagi ini yang memainkannya? Rupanya Jali memainkan di teras rumah. “Tanjung Ringgit gue raksase, idi gama’ ina’ “begitu Jali menyanyikannya. Sebenarnya Jali ingin berlama lama di rumah, karena baru sehari saja sudah harus bergerak lagi. Sedih tiada terperi tapi waktu memaksa kembali. Menjelang jam 7 malam kami berpamitan. Kali ini menuju daerah Dusun Gonjong, Desa MT. Gamang, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah.

Kali ini perjalanan ditempuh kira kira 2 jam lamanya. Kalau salah berarti saya yang lupa. Di Jerowaru memang sangat sepi, jika sudah menjelang malam memang jarang orang keluar rumah. Mungkin karena terlalu kenyang, jadi saya tak menghiraukan lagi alur perjalanan. Hanya saja gambus turut serta dalam perjalanan kali ini. Juga ada terasi khas Lombok yang mengiringi. Akhirnya sampailah kita di peraduan Hambali. Kedua orang tuanya telah lama menanti ternyata. Tak lama hidangan makan malam hadir kembali. Wah bisa tambah berat badan kalau begini, makan malam yang kedua pun kembali digelar. Mungkin karena sedikit letih jadi tak banyak kami berkelakar. Lagi lagi jamuan makan malam ala Sasak dengan menu yang berbeda. Andai saja saya tahu nama menu menu itu semua. Selepas makan malam, kembali kami menikmati kopi di balai balai khas Sasak di depan rumah. Sembari bercerita ini itu dengan Amak dari Hambali. Tak lama kami berjalan ke rumah Hambali yang satu lagi. Dekat saja, hanya berjarak 20meter. Di rumah kosong inilah nantinya kami melepas lelah. Rumah yang dibangun kakaknya Hambali yang sedang mencari rejeki di Arab sana. Kembali perangkat elektronik diisi tenaganya. Yang mandi langsung mandi, yang mencuci langsung mencuci, yang mengantuk jangan bicara lagi. Tetapi apa daya, kantuk hilang setelah malam melanjutkan perbincangannya. Tak sadar waktu telah memaksa gelap semakin larut.

Pagi kembali ketika kami nyaris tak berdaya lagi untuk bangun kembali. Karena desakan dari Amak Hambali maka kami kembali ke rumah untuk sarapan pagi. Aih nikmatnya sarapan pagi ini, ada tempe goreng, kerupuk, sambal khas Lombok, ikan asin, sayur yang segar, serta lainnya yang lagi lagi saya lupa. Lagi kopi lagi pemirsa. Tampaknya Lombok tak jauh beda dengan Aceh ada kopi dimana mana. Sembari minum kopi, kawan kawan mengupas mangga. Manis rasanya, tak ragu mulut untuk mengunyahnya. Kembali ke rumah tempat menyimpan perlengkapan tadi, kembali disuguhkan manggis dan kedondong dari halaman. Aih sempurna pagi ini.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen