Skip to main content

Lombok, Last Trip 2012 (part 3)



Pagi kembali, segar setelah mandi, sarapan sudah pasti, apalagi ada kopi, hari ini kita ke Gili!!! Dengan mobil sewaan, 300K sehari, rasanya ini lebih murah untuk keliling Lombok beberapa hari ini dengan 9 orang di dalamnya. Setelah pamit ke Amak dan Mama (ibu Rido) maka melaju lah kami ke pusat kota untuk mencari SPBU. Setelah mengisi perbekalan, putaran roda diarahkan ke Pasar Kuliner Lombok Barat. Untuk mencicipi jajanan khas Lombok. Air Nira nya bisa menjadi recommended deh kalau mampir kesini. Banyak buah-buahan segar juga di lokasi ini. Jika beruntung, kita dapat bercanda tawa dengan orang utan yang jinak di pinggir jalan. Pasar ini tepatnya berlokasi di perbatasan Lombok Barat juga Lombok Utara. Sebagai jalan masuk ke dua daerah tersebut, tentunya pasar ini selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang yang melintasi. Selain lokasi yang sejuk, lokasi pasar ini juga asri dipayungi rindang pepohonan.


Kembali berada di atas putaran roda, melihat tebing dan gunung berhalamankan hijau padi di sawah. Jalan berkelok, indah terasa. Bau laut sudah mulai terasa. Hingga masuklah ke dalam sebuah jalan kecil, dan harus membayar uang parkir 20K di tengah perjalanan menuju pelabuhan. Setelah membeli tiket 12,5K perorang, maka naiklah kami ke kapal hendak ke Gili Trawangan. Deburan ombak menambah semarak pelayaran pendek ini. Bercanda gurau dalam kapal, seolah hanya kami yang berhak melakukan kegaduhan. Jika merasa terganggu, mohon diharap maklum. Tapi tak perlulah lelucon itu pula yang kita tampilkan disini. Tak sampai seperempat jam, kapal telah sampai. Sebentar rupanya berlayar mencapai Gili Trawangan.

Pasir putih menyambut dengan riang gembira. Tak kalah gembira melihat pelancong asing yang tenang berbiki berwarna cerah. Amboi, inikah tanah surga itu? Langsung saja tersadar mendengar denting bel dari delman yang melintas. Nyaris saja tak ada polusi kendaraan di tanah ini. Hanya sesekali terlihat kepulan asap rokok mengiringi putaran sepeda. Apa yang mau diceritakan disini? Bangunan-bangunan unik yang tertata menyediakan fasilitas makan minum ala Eropa. Puluhan penyedia jasa layanan snorkeling, diving, hingga fast boat menuju Mataram. Beberapa tempat spa dan pijat tradisional tak luput dari pandangan mata. Dengan rayuan bergaya Amerika, iklan iklan kendaraan menuju Denpasar dipasarkan. Tak sedikit dari mereka yang berjemur di bawah terik mentari. Sembari berjalan ke ujung kian kemari, tak letih mata memandang mereka yang bercanda mesra. Ada yang asik berenang saja, ada pula yang duduk duduk saja, tak jarang jua yang bercumbu mesra. Ini kah surga? Letih berjalan ke ujung sana, saatnya kembali berjalan ke ujung sini. Tak jauh dari dermaga, saatnya melepas dahaga. Sejenak mandi lepaskan penatnya hari. Semacam lebay ya? Tapi tak apa, toh bule bule itu tak sungkan bertelanjang dada.

Selepas mandi, siang turut berganti, saatnya pergi meninggalkan tanah ini. Ingin berlama lama disini, tapi apa daya hati ingin bergegas menikmati sunset Sengigi. Setelah antri membeli tiket, segera masuk ke dalam perahu kecil ini. Hampir saja penuh sesak. Tak ada lagi canda tawa. Mungkin letih semua, ah bukan, tampaknya kawan kawan sedang kelaparan semua. Baiknya menutup mata meski sejenak. Semacam tidur tidur ayam, tibalah di dermaga seberang sana. Kembali ke parkiran mobil di tepi dermaga, tentunya tidak lupa membayar biaya parkir 5ribu rupiah. Bukan maksud hati tak ingin bercerita betapa eloknya Gili Trawangan itu, tetapi ada baiknya kalian singgah kemari hitung hitung menikmati sabtu minggu. Kendaraan dipacu mengejar waktu menuju Sengigi. Nyaris saja sore ketika beberapa orang duduk cantik di tepi tebing menanti sunset. Semacam Thailand rasanya, ketika di pinggir jalan ada tempat untuk melihat keindahan alam. Dibawahnya tentulah lautan luas, dengan garis bibir pantai yang berbatas. Tapi bukan ini mimpi kami. Tiba di Sengigi, membayar retribusi seribu rupiah per kepala, masuklah ke bibir pantai yang lebih ramai. Puluhan pengunjung masih asik berenang kian kemari. Ada yang naik kano, berenang dengan ban, sampai yang berkeliling menaiki sampan. Kesannya kumuh karena sampah dimana mana. 3 porsi sate bulayak dengan cepat berpindah ke dalam perut. Juga beberapa bungkus kacang. Entah berapa harganya, saya lupa. Beberapa kawan memutuskan menikmati kano, sedang lainnya berjalan menuju areal surfing. Tampaknya tak ada yang turun sore ini. Baiklah menikmati sunset yang malu malu. Indah hanya 5 huruf ini yang bisa meluncur di kepala. Hampir satu jam menikmatinya, saatnya melanjutkan perjalanan ke Jerowaru. Selamat tinggal Sengigi, selamat tinggal papan papan bertuliskan selain tamu hotel dilarang masuk ke areal ini.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen