Skip to main content

Lombok, Last Trip 2012 (part 2)



Ketika mata terbuka, terbelalak sempurna melihat keindahan Banyuwangi dikala subuh dari atas ketinggian ini. Matahari malu malu, sedang embun pagi terus bercumbu. Sampailah di terminal Banyuwangi jam 7 pagi. Harus naik angkot katanya ke Pelabuhan 10K per orang. Aih dimakan calo tampaknya kami pagi ini. Tak apalah, singgah di minimarket mengisi perbekalan juga menumpang mandi. Naiklah ke kapal dengan tujuan Gilimanuk seharga 6K per orang. Akhirnya kembali lagi dengan pelayaran ini setelah Desember 2010 menikmati yang pertama dan terakhir kalinya. Menikmati nasi bungkus 5 ribu rupiah cukup menentramkan mata. Seperti biasa, kami turun dari kapal lantas periksa KTP yang sudah mati, dan menuju terminal Gilimanuk. Deal 25K sampai Denpasar.
Mungkin karena mata terkantuk kantuk melihat konvoi Truk pengangkut semen, maka terbangunlah di sekitaran Denpasar. Minibus ini mampir sejenak di terminal baru lalu melaju ke terminal. Karena hari sudah siang, maka baiknya makan siang, karena kalau makan malam tandanya hari sudah malam. Duduk manis seperti tuan tuan berwajah iblis di warung nasi Padang depan terminal Ubung. Yang kiri bukan yang kanan. “Da ado jariang?”. aduh maaf mas saya bukan orang Padang. “Aih ba’a ko da? Dihidang ya, jangan lupa nasi tambuah. Sepertinya memang bukan orang Minang. Kalaupun orang Minang, pasti yang pertama diangkat adalah air minum, cuci tangan dan lap kering. Makan kali ini terbilang sempurna. 210K untuk 9 orang sudah minum dan numpang charger serta kamar mandi. Datanglah calo budiman yang tadi untuk men-deal-kan harga ke Padang Bay 25ribu. padahal kalau mobil langsung bisa 35K Gilimanuk - Padang Bay. Tapi tak apalah toh tidak setiap hari begini. Kembali mini van tersebut masuk terminal, ternyata menjemput seorang pasien lagi. Dan si cw tersebut telah ditipu dengan membayar ongkos 50K. Aih hari begini masih saja ada yang suka menipu pemirsa. Perjalanan kali ini tak begitu lama, selain jalanan bagus lagi lebar, pemandangan beragam. Kurang lebih 1 jam sampailah di Padang Bay. Karena bingung, wanita tadi turut bergabung bersama kami. Saya semacam lupa, kalau gak salah 36 atau 38ribu pokoknya 30anK lah tiket penyeberangan Padang Bay - Lembar. Jarak tempuh 4 jam dengan kamar mandi bersih, tak seperti kapal kapal Merak - Bakauheni. Ada ruangan rebahan yang nyaman, mushala, ruang tunggu ber AC maupun kursi-kursi yang disediakan di teras luar. Sembari menikmati sunset dan rayuan Gunung Agung, bercanda gurau sembari semilir senja, seolah sedang di tepi dangau. Dan ternyata wanita tadi itu menganggap kami sebagai pria tidak baik baik. Biarlah publik yang menilai. Kalian tahu, aku selalu menikmati saat saat senja di tepi laut. Dan sangat menikmati kondisi di tengah laut ini. Hingga malam menjemput, tak ada lagi kopi 3ribu itu yang bisa diseruput, maka didapati Ilka kantin kapal itu entah berapa harganya. Kira kira 3 jam lebih kapal mendarat di Pelabuhan Lembar, sedikit berteriak “yeah sampai juga di Lombok”. Kapal bisa bersandar sedang bus bus dan truk tak berani turun dari kapal. Ternyata air pasang hingga tak memungkinkan untuk menurunkan kendaraan. Dengan santai kami melewati genangan air pasang tersebut. Ternyata sudah dijemput oleh Abang nya Hambali di tepi dermaga dengan seorang kawannya. Alhasil dengan penumpang 11 orang kami menyeruak kegelapan malam Lombok. Jalanan di Lombok memang luas dan tebal, kesan inilah yang ada dalam pikiran kali pertama melihatnya. Tujuan kami adalah Mataram, kediaman dari gondrong. Adalah Rido Rama yang sempat berambut panjang kami juluki gondrong yang bertempat tinggal di Mataram. Ayahnya pengusaha rumah makan, jadi selain menumpang tidur juga mandi, tentunya kita dapat mencicipi kuliner khas Suku Sasak disana.

Tiba di kediaman gondrong, Amak (panggilan untuk Bapak) sudah menunggu dan menyambut dengan keramahan hati khas Sasak punya. Tak perlu mandi yang penting makan dulu, kemudian dengan cepat terhidanglah makanan khas Sasak seperti yang saya katakan tadi. Bermacam macam ragamnya dari sayuran, lauk pauk hingga sambal yang ada di hadapan pandangan. Sempurna, nyaris saja lapar ini sempurna. Dengan lahap kami menyantap hidangan yang ada. Hanya tinggal tulang tulang sapi saja yang tersisa. Ada satu hal yang menjadi kenangan di jamuan makan malam ini. Orang tua lebih dulu mencuci tangan, kemudian diikuti oleh yang lebih muda. Pun demikian dengan menyantap makanan. Sebelum yang tua selesai makan, maka tidaklah elok bagi kaum muda untuk mencuci tangannya. Mungkin karena lelah dan juga sedikit kelaparan, jadi tak sempat bertanya nama nama dari makanan tersebut. Kalau toh ditanya tentunya saya juga sudah lupa lagi sekarang. Keluarga Rido adalah penggemar musik, maka tak heran ketika di aula besar tempat kami makan ini tersedia tv layar besar dengan big sound, untuk karaoke katanya. Dan mata kali ini tak dapat kompromi. Dengan cepat saja langsung terlelap, ya di tengah aula ini, tentunya setelah minum kopi. Setelah makan minum kopi adalah tradisi disini.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen