Skip to main content

Merayu Senja Pulo Aceh

Wilayah kepulauan Provinsi Aceh merupakan daerah yang memiliki keragaman wisata yang sangat indah. Lihat saja Pulau We atau setidaknya Pulau Banyak yang menyajikan beragam wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi. Dari sekedar berenang di pantai sampai ber-snorkling ria. Beberapa pulau tersebut sangat sering dikunjungi wisatawan asing dan mancanegara. Tentunya sangat mudah mencari informasi akan keberadaan pulau-pulau tersebut.

Sempat terpikir, apakah tidak ada nuansa lokasi wisata tersembunyi di Provinsi Aceh, yang menarik yang masih alami untuk dikunjungi?
Hampir setahun berada di Tanah Rencong dan beberapa puluh kali melihat peta, maka destinasi kali ini mengarah ke Pulo Aceh. Meski beberapa kali gagal untuk pergi kesana, dikarenakan lain hal. Tekad ini bulat untuk berangkat, setelah ada ajakan kawan dari Medan untuk menyambangi Pulo Aceh. Cerita punya cerita, untuk masuk Pulo Aceh tidaklah mudah. Harus ada orang yang kita kenal disana, supaya nanti tidak kelaparan. Sekedar informasi, di Pulo Aceh tidak ada sarana transportasi umum, penginapan dan warung makan. Jadi, jika memang nekat hendak kesana, survive adalah sebuah cara.

Setelah berkomunikasi dengan kawan, didapatlah info bahwa kami akan bertemu dengan warga Pulo Aceh yang sedang menempuh pendidikan kuliah di Banda Aceh di pelabuhan tradisional Lampulo Banda Aceh. Berbeda dengan pelabuhan Ulhee Lee yang sudah dibangun sedemikian rupa. Pelabuhan Lampulo hanya terbangun apa adanya, dikarenakan pelabuhan ini hanya digunakan oleh kapal kapal penangkap ikan saja. Atas pesan singkatnya, kami berkumpul di Lampulo jam 10 pagi. Ternyata kapal yang menuju Lampuyang, Pulau Bereuh yang kami tuju berangkat jam 2 siang. Tak apalah, lebih baik lebih cepat beberapa jam, ketimbang terlambat beberapa menit. Setelah sarapan pagi di warung seberang dermaga, kami membeli ikan segar atas permintaan ibu dari si kawan yang berasal dari Pulo Aceh tadi.



Hampir jam 1 siang. Kendaraan roda dua kami naikkan ke kapal tujuan Lampuyang. Ongkos seberang Rp 15.000,00 untuk setiap orang. Demikian juga RP15.000,00 untuk kendaraan sepeda motor. Tidak itu saja, untuk menaikkan dan menurunkan kendaraan dari kapal, ongkos buruhnya juga Rp 15.000,00 sekali angkat. Berarti praktis, untuk sebuah sepeda motor yang diseberangkan akan memakan biaya Rp 45.000,00.

Hari itu pelayaran lumayan cerah. Kami duduk di belakang kemudi nahkoda. Supaya tidak kepanasan kalau diluar. Uniknya kapal ini, tuas kemudi dibelokkan nahkoda menggunakan kaki. Ke kanan dan ke kiri. Sedangkan untuk kecepatan, ada asisten nahkoda di lambung kapal yang mengaturnya. Nahkoda hanya memberikan kode melalui klakson, apakah dipercepat atau diperlambat kecepatan kapalnya. Karena berada di dalam, hanya bisa melihat lihat saja dari kaca yang terpasang. Perlahan tapi pasti laju kapal membuai kami untuk terlelap. Tapi kantuk tak kunjung tiba, tak terelakkan lagi. Pemandangan pulau-pulau yang dilalui sangat memukau.




Hingga tepian tampak di depan mata. Kapal bersandar pada titian ala kadarnya. Kemirisan dimulai disini. Inikah Indonesia? Setelah turun, ongkos kapal baru dipungut dari penumpang, ah bukan penumpang karena kami membayar. Lebih cocok jika dikatakan pengguna jasa layanan kapal. Setelah selesai administrasi, kami lanjutkan perjalanan ke rumah si kawan. Jalan tak sempurna, aspal yang terkesan setengah setengah. Sesekali terlihat beberapa rumah bantuan pasca tsunami tak lagi berpenghuni. Kosong dan tak ada tanda tanda kehidupan. Was was mulai melanda, apakah disana nanti benar ada kehidupan?


Setelah memacu 10menit ke depan, terlihat sisi lain panorama yang menggugah mata. Ya, alam kali ini berpihak kepada kami. Tak kunjung habis berdecak kagum, maklum saya orang kampung yang tak pernah kemana mana. Jadi sekali melihat pemandangan indah pasti selalu berkata “wah”. Sampai akhirnya di rumah si kawan. Sejenak berbasa basi, kemudian menumpang ke kamar mandi. Air di bak berwarna coklat. Disini air bersih memang susah, harus import dari Banda Aceh, what???
 

Keluar dari rumah yang juga bantuan pasca tsunami, langsung terlihat pantai yang jernih. Tak jauh terlihat kapal penumpang milik ayahnya. Besok naik kapal ini ujarnya. Ternyata ada 2 kapal ke pulau ini. 1 milik desa, dan 1 milik ayahnya. Beroperasi bergantian setiap 2hari sekali. Jika naik kapal ini, tak perlu ke dermaga yang di ujung kampung. Dalam bayangan hati ingin rasanya mencapai mercusuar di pulau ini yang begitu terkenal sampai Belanda. Mercusuar Ujong Puneuh, peninggalan masa penjajahan Belanda dulu.


Setelah mengendarai sepeda motor selama 10 menit, ternyata jalan terjal menunggu. Aspal sudah menghilang, hanya kerikil tajam terlihat. Sedikit memaksakan diri, terseberangilah sebuah sungai kecil. Disini ada sungai jernih, kenapa pemerintah tak coba mengolah menjadi air bersih untuk warga? Disini bukan puncak, tapi keindahan pemandangannya sangatlah wajar untuk dikagumi. Eksotis rasanya berada di tempat ini.








Pasti lebih indah jika melihat langsung kesana. Perlahan tapi pasti, roda dua berpacu mengantar kami ke tepi pantai putih tersebut. Persis seperti karpet, putih bersih dan empuk sekali pemirsa. Tampak sekali tak pernah dijamah. Pasir pantai tidak padat, sepertinya hanya ombak laut yang menyentuh mereka. Kagum pada dunia, masih ada tempat se asri ini. Tak mau berlama lama karena panas mendera. 30menitan saja kami langsung angkat kaki. Ingin rasanya sampai ke mercusuar yang sedari tadi menari nari di otak dalam kepala. Tapi apa daya sepeda motor matic yang saya tumpangi tak berani mengarungi kerasnya kerikil tajam. Bahaya rasanya jika nanti ban bocor, karena tak terlihat ada tukang tambal ban sedari tadi. Dengan berat hati putar haluan.




Di masa nya, Pulo Aceh terkenal dengan tanaman ganja yang tersohor kemana mana. Terkaget dari jauh melihat ada rumput yang sengaja dijemur di pinggir jalan. Saya kita itu adalah ganja. Ternyata hanya daun nilam. Pulau ini tanahnya sangat subur, nilam baik tumbuh di tanah ini, ujar ibu yang menjemurnya. Terlihat memang perkebunan sangat cocok di pulau ini. Tampak dari rumah istirahat petani yang lengkap dengan peralatan masak sederhana disana.

Kembali berada di pacuan jalanan, kembali menuju ibukota pulau ini. Senja mulai merayu, menatap laut di hari Sabtu. Kawan ragu akan mendapatkan sunset, dikarenakan ada awan satu lantai di atas sana. Tenang saja, lewat awan tersebut pasti matahari muncul kembali. Terlihat beberapa penikmat senja berada disana. Lengkap dengan video kamera dan kamera mahalnya. Berarti pulau ini layak menjadi tujuan wisata. Dikarenakan ada pengunjung lainnya. ternyata mereka juga warga lokal yang sedang mudik karena lusa adalah pilkada.






Tak perlu saya ceritakan lagi rasanya menikmati sunset di ujung barat Indonesia. Ditemani tebing indah, kicauan burung yang teramat mesra. Seakan ingin berlama lama di pulau ini. Dan malu rasanya jika bercerita banyak, seakan mengada ada.

Senja pergi, gelap menghampiri. Ternyata listrik sudah normal di pulau ini. Dikarenakan gossip yang saya ketahui, listrik hanya mengalir dari jam 6 sore hingga 12 malam. Itu makanya kenapa harga es lebih mahal dari pada segelas kopi di pulau ini. Membuat sebongkah es, bisa membutuhkan waktu selama 2 hari. Jujur saja malam ini saya tidak mandi. Ini untuk menghindari perubahan suhu badan. Dan logika konyol saya berasumsi jika tak mandi maka nyamuk enggan menggigit karena bau. Sehingga kecil kemungkinan untuk terkena malaria. Gossip lainnya juga mengatakan bahwa jika berkunjung ke pulau terpencil, rawan terkena malaria. Disarankan juga untuk tidak minum air kelapa muda supaya tidak terkena malaria. Kalau asumsi konyol saya mengatakan bahwa jika meminum air kelapa muda yang masih higienis dan alami dapat meningkatkan kadar gula. Sehingga lagi lagi nyamuk sangat suka. Mungkin bosan dengan aroma darah penduduk lokal.

Makan malam yang disajikan adalah makanan khas Aceh. Saya kurang tahu menahu nama makanannya. Pokoknya Aceh bangetlah. Ikan goreng sambal, udang goreng, sayur bersantan kental. Disini kalau tidak ada kawan, dijamin kelaparan, seloroh Ibu nya. Selepas makan, si kawan bingung karena rumah satu lagi tidak bisa terbuka karena kuncinya hilang. Tak masalah bagi saya tidur dimana saja, asalkan tidak kehujanan. Alhasil, menggelar kasur kecil di balai warga tepat depan rumahnya. Angin laut memang kencang, tapi hal itu terhapus dengan purnama sempurna yang begitu ciamik. Jika memang kamera ini kuat, rasanya ingin mengabadikan gugusan bintang seperti pedati sungsang di depan pandangan.




Pagi sekali, jam 6.30 mata sudah terbangun, disini masih gelap ternyata. Tak ingin mengambil resiko ketinggalan kapal, maka bangun pagi adalah ganjarannya. Besok pilkada, jadi kapal tidak berangkat. Setelah cuci muka dan berpamitan, merapatlah kami ke kedai kopi depan dermaga. Kopi disini masih 2ribu rupiah per gelas, sayang bukan kopi saring. Tak apalah, setidaknya ada kawan lambung pagi ini. Jajanan pasar yang tersaji juga masih terjangkau, seribu rupiah harganya. Dari martabak, gorengan sampai pulut (ketan bakar khas Aceh).






Motor sudah dinaikkan kapal, ayahnya turut serta mengantar kami ke dermaga. Terimakasih Pulo Bereuh terimakasih gugusan Pulo Aceh ujarku dalam hati. Sebagai balas dendam, kali ini harus naik di bagian kapal paling atas. Ya berada di atas nahkoda. Ternyata kapal singgah sejenak ke seberang dermaga, untuk mengangkut penumpang dan ikan tangkapan warga di daratan seberang. Tampak warga asing, dengan kerudung simpul. Berbicara beliau dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar. Tampak sepertinya sudah lama berada di pulau ini. Rasanya tak ada yang lebih penting selama 2 jam pelayaran ini ketimbang menarik nafas dan menikmati pemandangan kepulauan yang terbentang.
 
Sejak tahun 2022, sudah ada Kapal Ferry yang melayani pelayaran dari Pelabuhan Ulhe Lhe ke Pulo Aceh. Diantaranya menuju ke Pelabuhan Lamteng di Pulo Breuh dan Pelabuhan Dedap di Pulau Nasi. Kalian bisa mendapatkan informasi jadwalnya di Instagram Dishub Aceh.












Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen