Skip to main content

Trip 4 hari Banda Aceh – Medan – Pangururan – Aek Nauli – Parbaba – Pangururan – Sidikalang - Siantar – Medan – Banda Aceh.

-->
Rabu sudah mulai senja. Ketika gelap datang saya  dan kedua kawan berangkat dari kos di sekitaran Kampung Pineung Banda Aceh menuju terminal bus Banda Aceh. Hari ini bus akan sangat padat. Ya maklum saja, sekarang adalah hari 1 (biasanya pegawai gajian) dan besok tanggal 2 Juni 2011 dibarengi dengan libur nasional. Dan mantapnya lagi, hari Jumat 3 Juni 2011 adalah cuti bersama. Kontan ini adalah long weekend yang sangat sayang jika dilewatkan untuk sekedar berwisata. Beca motor mengantar kami ke terminal, dengan ongkos 20ribu saja untuk tiga penumpang.
Di terminal, memang banyak penumpang yang hendak berangkat ke Medan dan sekitarnya. Ini terbukti sedikit sekali tiket tersisa dari semua Pool Bus yang ada. Setelah berjalan kesana kemari, alhasil dapatlah 3 tiket ke Medan. Ini pun harus duduk di smooking room. Berarti tidak akan dapat selimut. Tak apalah, yang penting bisa sampai Medan. 3 tiket Bus Pelangi Banda Aceh – Medan ditangan seharga 120ribu per tiketnya. Tidak ada yang terlalu menarik memang selama perjalanan. Kami lebih banyak tidur. Ketika pagi datang, sinar merah mentari di ufuk timur membangunkan kami dari peraduan bangku belakang. Indah benar pagi perbatasan Aceh dan Sumatera Utara. Sayang tak ada kamera yang kuat mengabadikannya.
Sekitar pukul 9 pagi, sampai lah di Medan. Setelah sarapan di depan Pool Bus Pelangi, berangkatlah kami ke pusat keramaian Medan. Ternyata ini benar benar hari libur bagi warga Medan. masih sedikit toko yang buka.Berjalan kaki di Kota Medan ternyata melelahkan juga, karena suasana nya cukup panas ternyata. Lalu kami arahkan kaki menuju pusat perbelanjaan di Kota Medan, untuk membeli beberapa keperluan. Alhasil dapatlah sebuah ransel untuk Uda (oh iya, Uda adalah kawanku dari Solok bernama Razman). Pelajaran yang didapat dari mall di Medan adalah, jangan menitip barang kalau tidak belanja, bisa dihardik petugas nanti. Ternyata kurang ramah juga pegawainya. Melihat lihat harmonica, tapi tidak ada yang cocok dengan selera. Akhirnya sebuah recorder merk Yamaha yang terbayarkan. Sejenak menatap kamera digital, sayang dana tak mencukupi karena harga belum termasuk memory dan batrei.
Siang kira kira pukul 12 beranjak kami ke Pool Mini Bus SAMPRI. Seorang kawanku berangkat ke Sidikalang, sedang aku dan Uda menuju Pangururan Samosir. Kami mendapat tiket keberangkatan trip 74, sedang yang baru akan berangkat trip 70. Ya ampun, ini pasti akan lama. Oh iya harga tiket nya 45ribu ekonomi seat nya 4belakang, 4 tengah, 4 belakang supir, dan 2 disamping supir. Sedang yang eksekutif itu formasinya 3-3-3-2. Tiba tiba datang trip eksekutif, dan penumpang kosong. Setelah nego, akhirnya tiket kami bisa dialihkan dan menambah 10ribu agar bisa langsung berangkat karena hari sudah sangat siang. Jadi Medan – Pangururuan ongkosnya 55 ribu.

Sepanjang perjalanan susah sekali tidur, karena jalanan sangat jelek. Lewat kampung  Karo, disini mulai terlihat kehidupan masyarakat Batak. Hal ini ditandai dengan banyaknya makam adat dan gereja.  Sepanjang jalan nampak perkebunan jeruk yang sudah mulai siap panen. Seharusnya 4 jam saja kami tiba di tujuan. Akan tetapi karena jalanan jelek dan licin karena hujan, setelah 4jam perjalanan kami baru sampai di tempat istirahat SAMPRI dekat simpang tiga Sidikalang. Tandanya masih 3 jam lagi sampai Pangururan. Lepas istirahat, lanjut perjalanan.
Sampai Samosir jam 8 malam, hujan turun deras. Sial pikirku, karena kampung yang akan kami tuju harus berjalan 8km ke arah bukit. Setelah mencari beca yang mau mengantar tak kunjung dapat, kuputuskan untuk menginap di rumah paman saja, biarlah merepotkan semalam.
Pagi sudah tiba, Pangururan sedikit dingin karena semalaman diguyur hujan. Ke ATM dengan beca motor. Sarapan pagi di kedai Minang. Makan disini harga relative normal, 8-10ribu saja. Setelah pamit dengan Paman, lanjut naik minibus seperti Sampri ke Siriaon. Ongkos 2ribu, 10 menit dari Pangururan. Jika diteruskan, angkutan umum ini sampai ke Tomok. Pelabuhan penyebrangan ke Prapat bisa lanjut ke Siantar – Medan. Tarifnya 10ribu katanya sampai Tomok, dengan estimasi waktu 1jam perjalanan. Di Siriaon, jalan besar menuju kampungku Aek Nauli, beberapa beca motor menolak mengantarkan kami ke atas bukit. Sebenarnya karena jalan jelek dan berbatu. Sudah lama memang jalan tak diperbaiki. Alasan klasik mereka, “Maaf lagi ada yang mau dijemput, jadi tak bisa antar”. Kami putuskan berjalan kaki, dan dengan asumsi akan ada kendaraan lewat dan kami akan menumpang.
Tak lama berjalan terdengar suara truk. Kami pun ikut menumpang. Di kampungku, semua orang sangat ramah, jadi mudah saja menumpang. Dan kebetulan kakek ku adalah pembuka area pemukiman dulunya. Sehingga mudah saja mereka berbaik hati setelah sebut nama kakek dan bilang mau ke Aek Nauli. Jalanan benar-benar rusak. Di bak truk kami berdiri, ada motor dan barang lain yang diangkutnya.






Selang 30menit, kami tiba. Sebenarnya di kampungku ini sangat menyedihkan. Air bersih bisa jadi barang langka. Air bersih didapat dari menampung hujan. Jika mau bersusah payah, ada sungai yang jauhnya 2Km. Jadi kebanyakan, setiap rumah memiliki bak penampungan air yang cukup besar. Di kampungku hanya ada sebuah sekolah dasar. Jika ingin lanjut, terpaksa harus ke Pangururan. Sungguh menyedihkan, dimana wajib belajar 9 tahun hanya wacana saja disana.





Sejenak ziarah ke makam Kakek dan sekaligus sebagai makam adat keturunannya. Senang bercampur miris, lama tak kemari sejak Juli 2006. Mampir ke rumah bibi dengan suguhan kopi khas Samosir yang ditanam dan diracik sendiri. Kenikmatan tiada tara bagi penikmat kopi sejati. Ampasnya sangat terasa, aroma begitu menggoda. Dengan cangkir kaleng sebagai wadahnya. Berbicara ini berbicara itu, semua kami bicarakan bukan sekedar melepas rindu. Di rumah adat Batak inilah dulu Bapakku dibesarkan. Beratapkan seng, rumah anjungan, semua terbuat dari papan, dan dibawah adalah kandang ternak. Dan aku tak merasa risih jika harus duduk beralaskan tikar. Udara disini sangat dingin, jadi jika nanti ada keberuntungan singgah ke Samosir, jangan lupa mantel atau jaket.



Hari mulai siang, saat ini pukul 11. Melihat hamparan padi yang siap dipanen, kopi yang mulai berbuah, dan tumpukan batu bata sedang dijemur. 2 tahun terakhir kampung ini berubah menjadi penghasil batu bata katanya. Jika hujan tak turun, mereka mengambilnya di Danau Toba untuk produksi batubata. Dari jauh tampak Tugu Batak, ya inilah Tugu Sinurat Aek Nauli. Pada akhirnya, semua kerangka tulang tulang yang ada di makam akan dipindahkan ke Tugu ini.




Sekali lagi, kagumku tak terhingga, bisa orang kampung tak berpendidikan membuat ini semua. Meski ada beberapa perangkat yang dipesan, seperti pagar dan pintu besi. Ini terkesan sangat kolot, masih menganggap bahwa yang mati tetaplah ada disini. Tapi inilah budaya yang tak bisa dipungkiri. Entah bagaimana nanti mekanisme nya, karena saya sendiri belum pernah mengikutinya. Dan Tugu ini belum digunakan, atau belum diresmikan secara adat. Sungguh mengagumkan menatap hamparan luas Danau Toba dari sini, ya dari halaman Tugu ini. Setelah naik ke atas, terpukau aku menatap indahnya pelataran Samosir, hijau, berpagarkan danau yang tampak biru dari sini. Teduh sekali rasanya hati ini. Tak terpikirkan kejenuhan keseharian yang sering mencekam. Bahkan tak pernah sekalipun tampak kemacetan, udara benar-benar sejuk.



Sekitar pukul 2 siang, abangku mengantar kami kembali ke Siriaon dengan truk pengangkut batubata nya. Padahal ingin rasanya menginap disini. Tapi kawanku sudah berharap kembali ke keramaian. Mungkin dia tak cukup betah tinggal di kampung.


Dari Siriaon kami menumpang becamotor ke Sidabagas sekitaran Parbaba. Dengan Ongkos 15ribu estimasi 15menit. Karena menunggu angkutan tak kunjung datang. Jika naik angkutan, tarif hanya 3ribu rupiah saja.Jalanan asri di tepi Danau Toba, ini seperti pantura, tapi tidak dengan lalulalangnya. Rumah-rumah adat Batak di kanan kiri jalan, menemani makam dan tugu Batak. Di tanggal 3 Juni 2011 ini, sore hampir datang. Sejenak melepaskan penat dengan mandi di Danau Toba. Kini memang tak sebersih dulu karena mungkin banyak pendatang yang sembarangan membuang sampah. Nampak dari bungkus makanan yang tak mungkin ada di kampung ini. Tapi tak mengapa, barangsiapa berkunjung ke Samosir dan tak mandi di Danau Toba, niscaya akan sungguh menyesal pastinya.


Tak lama mandi kami kembali ke Pangururan. Dari sini sebenarnya Cuma 20 menit saja ongkosnya 5ribu. Tapi minibus datang 1jam sekali. Itu karena jadwal kedatangan kapal di Tomok. Sampai di Pangururan ternyata sudah tidak ada SAMPRI ke Sidikalang. Kalau mau naik tujuan Medan nanti turun di tengah jalan di Simpang Pangiringan ongkos 25ribu, baru lanjut naik kendaraan serupa tapi beda nama PO. 1Jam lebih sampai di Simpang Pangiringan. Jam 6 sore lewat, ragu juga masih ada angkutan lewatkah, ujarku dalam hati. Ya, kami beruntung, tak lama angkutan itu datang. Dari sini ternyata tak lama ke Sidikalang, hanya 30menitan, dan ongkosnya sangat murah. 5 ribu saja per orang. Sampai juga di Sidikalang, dingin seperti Bandung selepas diguyur hujan. Karena Bandung tak dingin lagi sekarang. Sidikalang terkenal dengan kopi nya. Kota yang majemuk, terdiri dari beberapa etnis, Jawa, Batak, Aceh. Tak lama jemputan kami datang. Labi-labi ternyata, labi labi adalah angkutan kota di Banda Aceh, dinamakan seperti itu karena memang sangat lambat jalannya. Karena letih, tak lama sampai di Sidikalang kami istirahat. Sebenarnya hari ini 4 Juni 2011, ingin berlanjut lagi ke perbatasan Aceh. Tapi apa daya, sudah janji dengan teman backpacker dari Jakarta yang sedang berada di Siantar.

Setelah beli kopi Sidikalang 5 bungkus, 250gram perbungkusnya seharga 11ribu, pagi ini berangkatlah ke Siantar. Ongkosnya 25 ribu saja. Murah kan? Padahal perjalanan itu hampir 4 jam lamanya. Oh iya kendaraannya seperti mini bus tapi lebih besar dari SAMPRI. Sejenis Elf, jadi tak terlalu sesak juga di dalam. Memang bosan rasanya di dalam, karena saya berangkat sendiri, Uda tinggal di Sidikalang. Tapi keramahan alam cukup membuat tentram. Jalanan relative lebih baik walau masih ada yang berlubang. Kali ini jalanan tak securam menuju Pangururan. Disambut perkebunan jeruk dan kopi. Jarang memang bisa merasakan kondisi seperti ini. Sepanjang perjalanan lebih banyak tidur.


Sampai juga di Siantar. Panas, ya Siantar panas seperti Medan, tapi tak sepanas hawa Jakarta. Singgah dirumah paman menitip ransel, kemudian menuju kebun aren. Inilah ladang tuak (minuman khas Batak), ya proses pembuatan tuak alami ada disini. Tuak dari pohon aren bisa langsung diminum disini, dan kadar alkoholnya masih sangat tinggi. 1 gelas pertama cukup membuat kepala berat dan sempoyongan. Di sekitar tampak pohon salak, sembari minum tuak sesekali mengunyah salak. Berbicara panjang lebar, orang Batak memang senang ditemani dengan tuak. Tapi tak pernah kunikmati tuak sehebat ini. Sodanya masih tampak naik ke permukaan gelas. Sempurna, tak seperti kebanyakan tuak di kota. Entah sebanyak apapun meminumnya, tak berasa. Kala gelas kedua sudah habis, kami kembali ke rumah paman. Karena takut akan mabuk dan tak bisa pulang. Bagi sebagian orang, tuak itu tak bermakna, tapi bagi kaum adat Batak, tuak sering dijadikan jamuan tamu. Harap dimaklum, karena kebanyakan daerah tanah Batak itu suhu nya sangat dingin. Tuak disinyalir sebagai panghangat badan.
Selepas dari ladang tuak, segelas teh manis sebagai penetralisir masuk ke dalam lambung. Hari mulai senja, keliling kami Kota Siantar. Di sini, di tanah ini, keberagaman etnis berdiri, saling menghormati, tak ada yang menyakiti. Makanya tak heran jika berjejer Mesjid, Gereja, dan Wihara. Berderet toko kelontong pribumi bersandingan kedai makan Tionghoa. Sesekali tampak motor besar (seperti Harley Davidson) peninggalan perang dulu, kini menjadi beca motor. Hebat, ya kota ini benar-benar hebat. Gedung gedung tua masih dijaga bentuk aslinya. Selepas mampir ke kedai Mie Cina, perjalanan dilanjutkan ke Kota Medan dengan menumpang travel door to door seharga 40ribu perorang. Sebenarnya ini kendaraan pribadi yang disulap menjadi travel.
Jalanan macet, seharusnya sampai dalam 3jam, ternyata 4 jam baru sampai di Medan. Sekarang sudah hampir jam 12 malam. Mau tidak mau, konser Vicky Sianipar terlewatkan. Sampai di Medan, travel langsung menuju markas besar sebuah supporter di Medan. Ya kami berkawan baik, jadi jika mampir ke Medan, bisa menumpang mandi atau istirahat. Sampai subuh kami cerita ini cerita itu, focus ke arah supporter dan sepakbola Indonesia. Yang malam itu ditemani laga Inggris yang tertahan 2-2. Dari seputaran Museum Negeri, beca motor mengantarkanku ke Pool Bus Pelangi. 30ribu rupiah, lumayan mahal juga ternyata. Ternyata bus sudah penuh untuk keberangkatan jam 12 siang. Sehingga terpaksa ikut menumpang pada bus yang keberangkatan pukul 3 sore. Karena 2 kawan yang dari Sidikalang sudah menunggu disana. Malas juga harus pergi ke agen bus lain. Harga tiket tetap sama 120ribu.  Tapi sialnya, di bus kali ini tidak ada smooking room dan toilet. Alhasil, jika bus beristirahat, cepat-cepat ke toilet.
Yang menarik adalah ketika istirahat makan malam dan shalat Magrib, ada seorang backpacker dari Austria bersama kami. Mati kami tak paham bahasa Inggris. Untunglah ada seorang bapak yang paham berbahasa Inggris. Beliaulah yang mengajak si bule berbicara. Bule ini baru kali pertama ke Indonesia, dan langsung ke Berastagih. Wow, ternyata Berastagih cukup terkenal disana. Ah sialnya aku tak pernah ke Berastagih. Seminggu di Berastagih, dia ingin lanjut ke Sabang. Dengan asumsi jika sampai pagi, masih sempat menumpang kapal trip pagi ke Pulau We. Sangat rinci sekali trip beliau. Dengan keterbatasan bahasa, dia berani datang ke Indonesia, lantas kenapa kita tak berani berangkat trip ke luar negri? Pagi tiba, dan pas sekali, pukul 5 pagi tepat tanggal 6 Juni 2011 kami sampai di Banda Aceh. Dan kembali beca motor mengantar kami ke peraduan. Kelak jika ada waktu, ransel ini akan menemani perjalananku kembali. Salam ransel.

Comments

  1. Tingkatkan untuk kemajuan samosir terutama ke desa terpenxil utk mensejerahterakan masyarakat, saya sendiri putra dari desa sinabulan ini klo musim kemarau kmi udh kocar kacir utk mencari air minum, inilah membuat anak samosir ga ada yg ingin tinggal di halaman kampungnya, jdi tolong di realisasikan utk desa ini... Horas horas horas...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen