Skip to main content

Posts

Royal Otobus

Awalnya saya sangat asing dengan nama Perusahaan Otobus satu ini. Maklum Royal Otobus memang sangat jarang terdengar di telinga. Bila mendengar kata Royal, sepintas akan teringat perusahaan otobus di sebuah Negara di Asia. Tetapi kali ini berasal dari Bumi Serambi Mekkah. Sejak awal tahun 2014 Royal kerap menjadi perbincangan kawan kawan di komunitas Aceh Bus Lovers. Terutama kawan kawan yang berdomisili di Banda Aceh. Selain menjadi bahan perbincangan yang menarik tentunya rasa penasaran selalu menghampiri bila mendengar kata Royal. Gosip yang beredar membawa kami bermimpi bahwa Royal sedang dalam Karoseri Adiputro saat itu. Hingga bosan membuat saya enggan menanti kedatangan armada Royal. Karena hingga saat ini jarang sekali saya melihat jarak gossip dan launching armada baru di Banda Aceh mempunyai jeda waktu yang sangat panjang hingga berbulan bulan. Melihat kebiasaan perhelatan bus di Aceh, bila kabar burung terlalu jauh sudah dipastikan bahwa gossip tersebut tidak benar.

Canai Mamak Kualalumpur

Banda Aceh petang itu baru saja diguyur hujan. Cuaca yang biasanya gerah meski sudah gelap sudah tak asing bagi warga. Maklum saja Banda Aceh sangat dekat dengan laut. Seperti daerah pesisir kebanyakan suhu udara yang cukup tinggi menjadi identitas yang sangat berbeda dengan daerah dataran tinggi. Sejuk kali ini terasa nyaman. Apalagi ketika jalanan nyaris terbebas dari debu debu yang beterbangan. Disini tidak seperti Balikpapan, dimana jalanan kerap dibersihkan bahkan di pel sehingga tidak ada lumpur mengering yang akan menghasilkan debu.   Bahkan ada peraturan disana, bahwa setiap kendaraan bermotor tidak boleh mengotori aspal jalan raya. Asumsinya bahwa ban tidak boleh berlumpur dan muatan tidak boleh tercecer di jalanan. Semoga kelak Banda Aceh juga bisa seperti Balikpapan yang notabene bukan kota Madani. Cuaca seperti ini memang akan sangat jarang ditemukan di Kutaraja. Sehingga saya bersemangat untuk menikmati kuliner yang tak jauh dari kediaman. 

Timphan Asoe Kaya

Timphan bagi penduduk Aceh jajanan ini tidaklah asing di telinga. Makanan ringan satu ini kerap kita temui pada penjual jajanan di pasar tradisional. Bagi anda yang pernah mengunjungi Kede Kupi, juga tidak asing dengan timphan. Makanan berbalut daun pisang muda ini biasanya turut disajikan bersama dengan minuman yang kita pesan. Jajanan yang dibalut dengan daun pisang berwarna kuning ini membuat kita penasaran akan isi dan rasa yang terkandung di dalamnya. Sebenarnya bentuk makanan ini pernah saya temui juga di beberapa daerah di Pulau Jawa sana, hanya saja rasa yang membuatnya berbeda.   Timphan Asoe Kaya sangat berbeda dengan makanan sejenis di tempat lain, karena di dalamnya berisi srikaya. Bahkan tidak jarang kita temui modifikasi racikan dengan memasukkan durian ke dalamnya. Jika kita belum pernah mencoba timphan tentunya akan malas menyentuh makanan ini karena balutan daun pisang yang selalu basah. Mungkin karena sedikit lengket membuat orang-orang enggan menyentuhnya

Angkringan Banda Aceh rasa Yogyakarta

Dari tepi jalan menuju pelabuhan Ulhe Lhe sekilas kedai ini tak terlihat. Letaknya sebelah kiri jalan kira kira 1km dari Museum Tsunami. Nyaris tepat di seberang Dhapu Kupi Ulhe Lhee. Sebuah gerobak khas angkringan di Pulau Jawa terlihat menyambut tamu yang berkunjung. Tampak cirri khas teko alumunium di tepi gerobak. Biasanya teko ini berisi air panas yang terdapat bara api di bawahnya. Tak asing layaknya gerobak angkringan yang sering saya lihat di Jogja. Beberapa nampan plastik turut bersanding menampung beberapa jenis gorengan. Ah jadi ingat Weleri, dulu sering berkunjung kesana. Tak jarang pula menikmati jajanan khas angkringan disana. Dulu kalau sehabis belanja atau membantu pekerjaan rumah kerap diberi uang jajan sama Mak Tua. Seribu rupiah memang tak banyak, tapi cukup untuk segelas es teh manis dan 2potong gorengan. Sekarang entah berapa harganya di Weleri sana. Beberapa potong sate telur puyuh turut meramaikan tempat jajanan gerobak saat itu. Ada juga sate ati ampela b

Jangan Pernah Ke Sumatera

Dua tahun terakhir ini nyaris hingga 3 kali mengelilingi Sumatera menggunakan bus. Meski tidak semua daratan Sumatera saya kunjungi, setidaknya berpindah dari satu kota ke kota lainnya, dari satu bus ke bus lainnya merupakan sebuah kenikmatan yang tiada tara. Selain bisa mencicipi kuliner yang khas, keindahan alam yang mungkin tidak ada di tempat lain, bila beruntung kita bisa melihat kebudayaan khas dari kota yang kita kunjungi tersebut. Sempat terlintas berkeinginan kembali mengulang berkunjung tempat-tempat indah di Sumatera seperti teman teman lain yang menggunakan kendaraan pribadi. Apa daya belum ada kendaraan pribadi yang terbeli Mungkin ke depan bisa terbeli kelak temani piknik keliling Sumatera lagi.

Rasa Warung Kopi

Warung kopi, siapa gerangan orang yang tidak pernah mendengar kata tersebut.   Jika mendengar kata Aceh maka akan langsung terbersit kata kopi di benak kita. Betapa tidak, Aceh terkenal dengan kenikmatan kopi terbaik di dunia. Begitupun dengan Banda Aceh pantas mendapat julukan Kota Seribu Warung Kopi. Ketika saya bersepeda menyusuri Jl. Panglima Nyak Makam, terlihat jelas belasan Warung Kopi di sepanjang jalan. Anehnya lagi warung kopi di daerah ini tidak pernah sepi. Tampaknya sudah mempunyai pelanggannya masing masing. Tua muda terlihat berkumpul di warung kopi. Ada yang sendiri, bersama teman, bahkan dengan keluarga. Dewasa ini warung kopi telah beralih fungsi. Sebelum-sebelumnya warung kopi dijadikan ajang silaturahmi warga sekitar. Ada yang membahas kegiatan kampung, hingga pembahasan jual beli barang. Tidak jarang juga warung kopi digunakan sebagai tempat sosialisasi kebijakan pemerintah maupun kebijakan adat. Seiring kemajuan jaman, warung kopi tidak lagi sekedar men

Senja TPI Baru Lampulo

Tidak sering rasanya, hanya saja beberapa kali saya senang menikmati hiruk pikuk Tempat Pelalangan Ikan di Lampulo. Beberapa pekan kemarin sengaja kembali berkunjung. Ternyata TPI tersebut sudah pindah ke tempat yang baru. Tidak jauh dari TPI yang lama, saat ini sudah berada di tepi laut. Beberapa kilometer jaraknya dengan TPI yang lama. TPI Lampulo yang baru ini kesannya kurang menarik di awal. Bagaimana tidak, jalan akses menuju lokasi ini berbatu dan berdebu. Bila malam tiba akan terasa karena kurangnya penerangan jalan. Tidak banyak rambu rambu yang menunjukkan lokasi TPI baru. Badrul seorang kawan yang tidak jauh tinggal dari lokasi tersebut mengantarkan saya sore itu. Mungkin kalau tidak diantarkan beliau, sudah barang tentu saya meraba raba dan kebingungan.