Skip to main content

Rendang Paku From Dharmasraya West Sumatera

 

Rendang is a popular dish from Indonesia, especially from the Minangkabau ethnic group in West Sumatra. It is a slow-cooked beef dish typically simmered for several hours in a mixture of coconut milk and spices until the liquid has been absorbed and the meat is tender and flavorful.

The traditional spice mixture for rendang usually includes ginger, garlic, shallots, lemongrass, galangal, turmeric, and chili peppers. The slow-cooking process allows the flavors to meld together and intensify, resulting in a complex and profoundly savory dish.

Rendang is often served with steamed rice and is a popular dish for special occasions such as weddings and religious festivals. It is also a popular dish in neighboring countries like Malaysia and Singapore and has gained popularity worldwide as a delicious and exotic culinary experience.


Apart from using meat, rendang can also be made using ferns. Dharmasraya Regency is one of the areas that produce rendang paku. Rendang paku is a traditional dish made with fern leaves and spices. The fern leaves used in rendang paku are known as "paku" in Malay.

The intricate process of crafting the delectable randang nails requires a careful selection of ingredients, including coconut milk, fiery red chilies, aromatic shallots, and a medley of mashed herbs and spices such as galangal, ginger, turmeric, and lemongrass. To further enhance the flavor, bay leaves, turmeric leaves, ruku-ruku leaves, and lime leaves are added to the mix. Cooking the randang nails is a laborious task, taking up to 6 hours, but the end result is worth the effort. The dish is cooked on a stove using firewood, lending it a distinct and authentic taste. The final product is dry and yellowish in color, ensuring a long shelf life. As one of the treasured traditional foods in Dharmasraya, the randang nails demand patience and attention to detail, but the outcome is a culinary masterpiece that will leave your taste buds tantalized.

Rendang paku is typically served as a side dish or condiment to accompany rice, but it can also be enjoyed as a snack. It is a popular dish in Malaysia and Indonesia and is often prepared for special occasions and festive celebrations. 


Randang Paku Rang Kito

Jorong Kubang Panjang Ngari IV

Koto Pulau Punjung, Kecamatan Punjung, 

Kabupaten Dhamasraya, West Sumatera

Please Call: Randang Paku Rang Kito

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen