Skip to main content

Sepenggal Budaya Batak yang Tersimpan di Museum Hutabolon Simanindo

Ketika sampai di Danau Toba, yang terpikir dalam hati tentunya menikmati kesejukan air danau yang konon katanya terbesar di Indonesia juga Asia Tenggara. Selain Danau Toba, sebenarnya Pulau Samosir masih menyimpan bangunan-bangunan tradisional yang penuh eksotika. Jika kita datang dari Tomok dan hendak ke Pangururan atau sebaliknya, berbagai peninggalan sejarah Batak masih terlihat di sepanjang tepi jalan. Rumah Adat Batak yang berbentuk panggung dan atap menjulang ke arah depan dan belakang serta warna warna hitam, merah, putih khas Batak menambah semarak tanah ini. Sesekali terlihat tempat ibadah yang masih bermotifkan budaya serta ukiran Batak. Tidak jarang pula terlihat makam-makam Batak yang berdiri kokoh lagi megah. Pulau Samosir telah lama menjadi tujuan wisatawan domestic juga mancanegara. Sehingga warga tidak lagi heran apabila ada pengunjung yang ingin melihat-melihat keunikan rumah dan makam di sekitar mereka. Tidak sedikit pengunjung yang ingin menikmati bentuk bentuk keragaman bangunan khas Batak tanpa harus memulai bersosialisasi dengan warga lokal. Tentunya ini bukanlah suatu hal yang menghambat pengunjung untuk menikmati salah satu peninggalan sejarah Batak serta budayanya. Pengunjung dapat mengunjungi Museum Batak Hutabolon Simanindo.



 Danau Toba

Rumah Batak

Makam Batak


Museum Batak Hutabolon Simanindo dapat ditempuh selama 20 menit dari Tomok. Lokasi ini dapat dikunjungi dengan menggunakan beca motor ataupun angkutan ELF dari Pelabuhan Tomok. Untuk menjaga kelestarian serta perawatan bangunan, setiap pengunjung dikenai tiket masuk sebesar 10ribu rupiah. Dan nantinya apabila ingin menonton pertunjukan patung Sigale - Gale pada jam-jam yang telah dijadwalkan akan dikenai lagi biaya 3ribu rupiah. Awal masuk ke lokasi museum, beberapa bangunan makam menyerupai miniatur Rumah Batak berjajar rapih menyambut. Meski dipagar besi, tidak mengurangi estetika budaya Batak yang masih sangat kental.



Tepat di depan bangunan makam tersebut, kita dihadapkan dengan Rumah Batak berukuran sedang. Di dalamnya terdapat pernak pernik peralatan kehidupan sehari hari khas Suku Batak. Tidak hanya perkakas yang dapat kita lihat disana, ada juga peralatan musik tradisional yang terpajang manis dalam lemari kaca. Bukan bermaksud membanggakan, tetapi setelah melihat peralatan dalam museum ini dapat dikatakan bahwa nenek moyang Bangsa (suku) Batak sejak lama telah mengenal pengetahuan yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari timbangan, beragam jenis ukiran, kain tenun yang lebih dikenal dengan Ulos. Serta beragam peralatan yang mungkin akan jarang kita temui di masa sekarang ini. Beralih ke bangunan sebelah, ada sebuah sampan besar dan sebuah sampan kecil lengkap dengan ukiran-ukiran bermotifkan Batak. Sampan ini dinamakan dengan Solu Bolon atau dengan bahasa Inggris dikatakan sebagai Royal Boat. Sampan yang sangat kokoh, terlihat dari kayu yang panjang dan tebal.



Kemudian melangkah lebih ke dalam terdapat halaman luas di antara rumah Batak yang saling berhadapan. Hampir kebanyakan Huta (kampung) di tanah Batak memiliki ciri seperti ini. Sekelilingi kampung yang dihuni oleh beberapa kepala keluarga akan dibentengi dengan tanah yang disusun setinggi 1-2meter dan ditanami pepohonan. Cenderung ditanami dengan bambu. Hal ini untuk menjaga serangan dari binatang buas. Sedangkan halaman luas dibuat sebagai tempat bermain, menjemur hasil ladang, juga sebagai tempat menggelar pesta adat. Di sebelah kiri akan terlihat rumah Batak dengan ukuran asli (besar) sedang di bagian kanan terlihat miniatur rumah Batak. Rumah Batak dibuat bertingkat, lantai dasar sering digunakan sebagai tempat menyimpan ternak atau hasil ladang. Lantai dua akan dijadikan sebagai tempat tinggal sehari hari. Di bagian depan dibuat semacam paviliun. Disini biasa digunakan sebagai tempat meletakkan persembahan kepada nenek moyang leluhur. Sering juga digunakan sebagai tempat pemain musik khas Batak ketika sedang mengadakan Gondang. Rumah Batak dibangun dengan kokoh agar kelak dapat digunakan sampai ke anak cucu. Kayu menjadi bahan dominan dalam strukturnya. Besar dan panjang digunakan menjadi lantai dan kerangka dasar pembangunan rumah. Sedangkan atap terbuat dari ijuk, tetapi tidak jarang pada saat ini dibuat dari seng.


Beberapa rumah Batak yang kecil di sebelah kanan dapat dijadikan pengunjung untuk berteduh ketika menikmati pertunjukan Tor-Tor ataupun Patung Sigale Gale. Tetapi tidak jarang pengunjung menonton dengan jarak lebih dekat. Sehingga dibangunlah tempat duduk memanjang dari semen. Sebenarnya rumah adat Batak yang kecil tersebut sering digunakan sebagai lumbung padi. Disana juga terlihat losung panjang terbuat dari kayu untuk menumbuk padi. Di halaman rumah terdapat Patung Sigale-Gale. Patung ini dapat menari apabila dimainkan oleh pawangnya. Di bagian bawah ada tali yang menghubungkan kaki tangan serta kepala patung tersebut. Sehingga ketika dimainkan oleh pemain yang mahir, akan sangat menarik tentunya. Pertunjukkan Sigale Gale kerap diikuti dengan permainan alat musik tradisional Batak. Di paviliun rumah tadi terdapat alat-alat musik Batak yang terdiri dari taganing, gong juga serunai. Hanya saja biasanya serunai (suling) selalu disimpan oleh pemainnya. Di tengah halaman rumah ditancapkan sebatang kayu kecil yang cukup panjang. Penari Tor-Tor biasanya mengiringi penyelenggaraan tarian Patung Sigale - Sigale sembari memutari kayu tersebut. Pengunjung juga dapat berpartisipasi dan turut serta menari Tor-Tor.


Di rumah Batak yang paling besar di ujung terlihat beberapa kain Ulos sedang dijemur. Kain Ulos memang tidak pernah dicuci, cara perawatannya hanya dengan disikat kering atau hanya dengan dijemur saja. Tetapi kali ini bukan bermaksud untuk menjemur, tetapi sebagai penanda bahwa di bangunan rumah inilah pernak-pernik sebagai oleh oleh bisa didapat. Dari kain Ulos, mainan tradisional Batak, alat musik Batak sampai kaos dapat dijadikan pengenang kala kita meninggalkan Tanah Batak tercinta ini.


Tetap jaga kebersihan Samosir, Danau Toba bukan tempat sampah.

Comments

Popular posts from this blog

El Comandante Coffee

Pria berambut pendek dan rapih menyambut kedatangan sore kala itu. Terlihat bordir halus di bagian belakang kemeja coklat muda nama kedai kopi. Seperti mengulang, meja kembali di bersihkan meski terlihat tak ada kotoran sedikit pun. Belum lagi senyum simpul saya berakhir, pemuda tersebut langsung menghilang ke dalam bangunan ruko tiga pintu tersebut. Elcomandante Coffee beberapa tahun terakhir ini menjadi tempat melepas penat atau bertemu banyak sahabat.

Naik Kereta Api Second Class Semalaman Dari Hatyai ke Bangkok (Thailand Part 3)

Setelah Menyambangi Wat Hat Yai Nai di Hatyai   seharian tadi. Sebenarnya tidak seharian juga, karena hanya beberapa saat saja. Saya kembali ke Stasiun Kereta Api Hatyai. Ternyata ibu penjual kopi tadi pagi masih setia menunggu. Tidak ada salahnya memesan Thai Tea langsung di Thailand. Beliau tersenyum ketika saya sebut Thai Tea, "this name Tea, only Tea" ujarnya lagi. Seperti di Aceh, mana ada Kopi Aceh. Cuaca siang itu sangat terik, sementara jadwal kereta api masih lama. Sehingga 4 jam lamanya saya berputar putar di dalam stasiun kereta api. Menikmati makan siang di kantin stasiun. Menumpang isi baterai telepon seluler, bolak balik kamar mandi dan melihat lalu lalang pengunjung stasiun. Sayang sekali tidak banyak kursi tunggu yang disediakan. Jadilah hanya bisa duduk duduk saja. Kurang dari 1 jam menjelang keberangkatan, saya kembali mandi di toilet stasiun. Tenang saja, ada bilik khusus untuk kamar mandi. Hatyai itu panasnya luar biasa, jadi sebelum berangkat lebih baik m

Naik Bus dari TBS Malaysia ke Hat Yai Thailand

1 Juni 2019. Air Asia terakhir mengantarkan siang itu ke petang Sepang. Setelah 1 jam tanpa sinyal telepon seluler. Sebelumnya aku menikmati internet gratis dari wifi yang ditebar di Bandara Iskandar Muda, Aceh Besar. Internet dapat ditemukan dan diakses dengan mudah. Demikian juga ketika mendarat di Kuala Lumpur International Airport 2. Dinginnya selasar kedatangan membuat jantung berpacu. Berdegup keras seperti kecepatan telepon seluler menjelajah internet gratis disana. Sengaja bergegas, mengabaikan toilet dan berharap antrian imigrasi tidak ramai.  Ini kali kedua mengalami tak ada antrian yang berarti di imigrasi. Petugas hanya memastikan sembari tersenyum “Dari Aceh? Mau lanjut ke Jakarta?” Mereka seakan terbiasa menghadapi masyarakat Aceh yang singgah sejenak di Negeri Jiran hanya untuk kembali menyeberang ke kota-kota lain di Indonesia. “Tak Cik, saya nak pi Thailand kejap ini malam dari TBS”. Cop cop, sidik jari, dan imigrasi berlalu begitu saja. Sudah 3 tempat pen